Lorong Dua Tujuh

Penulis

Idham Cholid

Senin, 24 Juli 2023 06:30 WIB

Wapres Ma'ruf Amin. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

Masih ada saja yang bertanya, apa beda Lorong Dua Tujuh dengan Lorong Waktu? Tentu, si penanya sekadar bercanda, ketika namanya saya masukkan WhatsApp Group (WAG). Lorong Dua Tujuh adalah nama WAG yang sudah hampir 5 (lima) tahun berjalan. Tepatnya, saya buat pada 10 Oktober 2018.

Namun, dalam pertanyaan yang mengaitkan dengan Lorong Waktu itu, jelas sekali bahwa si penanya kemungkinan belum mengetahui keberadaan Lorong Dua Tujuh yang sebenarnya. Jika demikian, inilah yang justru saya anggap serius. Ternyata, mereka yang saya invite memang rata-rata masih selalu menanyakan itu.

Serius? Iya. Karena Lorong Dua Tujuh bukan sesuatu yang fiktif. Ia merupakan fakta terkait tempat, juga waktu. Jika pun di seputarnya ada “misteri”, ini pula yang serius perlu diketahui.

Perjalanan Waktu

Beda dengan Lorong Waktu. Bagi kita, tentu sudah tak asing lagi. Ia tak lebih merupakan “imajinasi” tentang perjalanan dengan menggunakan “mesin” waktu. Konsepnya adalah perjalanan waktu. Yakni, berjalan maju atau mundur ke titik berbeda dalam waktu tertentu.

Advertising
Advertising

Bisa mundur ke masa lalu. Atau sebaliknya, bisa pula maju ke masa depan. Tergantung yang punya mesin itu, apa yang dia inginkan. Perjalanan waktu tetap seperti kita berjalan dalam “ruang” juga.

Namun yang pasti, imajinasi itu bukan seperti “mimpi” sebagaimana cerita SBY belum lama ini. Bahwa dia bermimpi diajak Presiden Jokowi naik kereta api bersama Megawati Soekarnoputri.

“Saya bermimpi suatu hari Pak Jokowi datang ke rumah saya di Cikeas untuk kemudian bersama-sama menjemput Ibu Megawati di kediamannya. Selanjutnya kami bertiga menuju Stasiun Gambir.” Demikian SBY membuka cerita.

“Di Stasiun Gambir sudah menunggu Presiden ke-8 dan beliau membelikan karcis kereta api Gajayana ke arah Jawa Tengah dan Jawa Timur,” lanjutnya sebagaimana diunggah di akun Twitter @SBYudhoyono pada 19 Juni 2023 lalu.

Ceritanya pun masih berlanjut. Mimpi itu bahkan sangat detail. Jelas sekali alurnya, seperti plot film saja. Diceritakan bahwa sambil nunggu kereta, mereka sempatkan ngopi dan ngobrol santai. Kemudian di sepanjang perjalanan yang dilalui, mereka menyapa seluruh rakyat dengan hangat.

Dalam perjalanan dengan KA Gajayana tersebut, Presiden Jokowi turun di Solo, untuk kembali ke kediamannya. Demikian pula SBY yang kemudian melanjutkan perjalanan darat ke Pacitan, dengan menggunakan bus. Sedang Megawati lanjut ke Blitar untuk menziarahi makam ayahandanya, Bung Karno.

Cerita tentang mimpi SBY, betapapun banyak ahli menafsirkan sebagai kabar baik, tidak sedikit pula yang menganggapnya bukan benar-benar mimpi. Itu hanya khayalan. Mungkin, tepatnya “impian” atau sesuatu yang sangat diharapkan. Harapan akan terwujudnya kebersamaan para pemimpin bangsa, kini dan seterusnya, sebagaimana yang kita impikan pula.

Lorong Waktu juga khayalan. Benar-benar khayalan. Fiksi belaka. Cerita rekaan. Memang divisualisasi seperti kejadian nyata, namun itu merupakan rekayasa saja untuk kepentingan produksi film atau sinetron. Untuk hiburan semata.

Coba Anda searching dengan keyword Lorong Waktu di Google, yang pasti akan muncul adalah sinetron religi Islami bertema fiksi ilmiah. Sinetron yang dibuat dan dimainkan langsung oleh aktor kawakan Deddy Mizwar ini tayang pertama kali pada 1999, bertepatan dengan Ramadan 1420 H.

Banyak peminatnya juga. Terbukti, diproduksi hingga 270 episode. Bahkan dianggap merupakan sinetron religi terbaik dan menjadi primadona sepanjang masa. Menjadi hiburan “resmi” tiap bulan Ramadan, sampai 2006.

Ceritanya sederhana. Berkisah tentang petualangan Haji Husin (diperankan Deddy Mizwar) bersama ustadz Addin dan santri ciliknya, Zidan. Perjalanan dengan menggunakan mesin canggih itu bisa menjelajahi “ruang dan waktu lain” dari kondisi yang tengah dihadapi.

Mesin waktu ciptaan ustadz Addin—anak angkat Haji Husin, pemuda yatim piatu yang punya keahlian di bidang teknologi informasi—itu bisa mengantarkannya berpetualang ke masa lalu, dengan tujuan untuk mengungkap pelbagai peristiwa yang telah terjadi. Atau menembus masa depan, memperlihatkan beberapa kemungkinan dan harapan.

Imajinasi tentang perjalanan waktu mengingatkan kita pada petualangan Dr. Antony Newman (Tony), diperankan James Darren (1936-2023), dan Dr. Doug Phillips (Doug) yang diperankan Robert Colbert (1931-2022) dalam serial fiksi ilmiah AS, rilis pada 1966-1967: The Time Tunnel. Berlatar tahun 1968, ini merupakan proyek spektakuler, terbesar dan paling rahasia pemerintah AS.

Di sana dikisahkan, misalnya, bagaimana Tony dan Doug hadir dan menjadi peserta dalam peristiwa masa lalu. Seperti, pengeboman Pearl Harbor (Desember 1941); tenggelamnya Titanic, kapal pesiar terbesar, pada April 1912; dan letusan Krakatau (1883), letusan maha dahsyat berkekuatan 30.000 kali bom atom yang suaranya terdengar hingga Australia dan Afrika, sejauh hampir 5.000 km.

Dalam petualangannya, dua ilmuwan ternama AS itu tersesat dalam labirin masa lalu dan masa depan, berputar-putar selama percobaan pertama. Lalu, keduanya terjungkal tak berdaya menuju petualangan baru. Berpetualang di sepanjang lorong waktu yang tak terbatas. Sangat fantastis.

Saya benar-benar menikmati tayangan film tersebut sebagai hiburan yang paling mengasikkan pada 1970an, ketika umur saya belum 10 tahun. Hanya melalui TVRI, satu-satunya saluran televisi yang bisa dinikmati saat itu. Layar kacanya masih hitam putih.

Saksi Perjuangan

Sedang Lorong Dua Tujuh punya “cerita” sendiri. Sekali lagi, ini bukan fiksi. Tetapi merupakan fakta, menjadi bagian dari realitas masyarakat urban dalam suatu kawasan padat penduduk di pinggiran DKI. Tepatnya di Koja, Jakarta Utara. Lokasinya tak jauh dari RSUD Koja, di Jalan Deli.

Jika Anda sudah sampai di sana, susuri saja jalan itu, sekitar 500 meter, di sebelah kanan, akan ditemukan plang bertuliskan “Lorong 27”. Gang atau jalan kecil yang di kanan-kirinya terdapat banyak rumah warga. Dari mulut gang, hanya sekitar 200 meter di kiri jalan, kediaman KH. Ma'ruf Amin (KMA) berada. Rumah sederhana, di atas lahan tak lebih 250 m2. Kediaman kiai ternama yang kini dipercaya menjadi orang kedua, memimpin bangsa Indonesia.

Di lorong itulah lebih dari 50 tahun KMA tinggal. Sejak 1964, ketika tekadnya telah bulat memutuskan untuk “hijrah” dari kampung halamannya di Kresek, Tangerang. Tentu bukan tanpa alasan. Sedari muda, KMA adalah pencari dan penyebar ilmu. “Berjuang” senantiasa menjadi kata kunci hidupnya.

Di lorong itulah KMA muda mengawali perjuangannya. Di usia sangat muda, baru 21 tahun, setelah menamatkan pendidikan di Tebuireng dan pesantren lainnya, KMA membina keluarga kecilnya. Juga membina masyarakat sekitar dengan ilmu dan segala keahlian yang dimilikinya.

Dari lorong itulah perjuangan KMA bermula. Kiprah ke-NU-an dirintisnya melalui Gerakan Pemuda Ansor, menjadi Ketua Ranting atau tingkat Kelurahan Koja, hingga mendapatkan amanah sebagai Rais Aam PBNU, pemimpin tertinggi di organisasi para kiai ini, pada 2015.

Lorong itulah yang menjadi saksi perjuangan KMA. Sejak awal tinggal di sana, dijadikannya rumah sebagai markas bertemunya para pemuda. Tidak dari kalangan NU atau Islam saja. KMA merangkul semuanya dengan membentuk Front Pemuda, beranggotakan para pemuda lintas partai, pada 1964-1967. Inilah tahun-tahun genting dalam sejarah “revolusi” Indonesia.

Lorong 27 adalah saksi perjuangan KMA membina dan melayani umat. Berpuluh tahun, persis di depan rumahnya, tratag atau tenda semi permanen didirikan untuk pengajian mingguan. Di tenda ini pula, tak sedikit masyarakat berteduh dan meminta “perlindungan” saat meletusnya kerusuhan rasial pada pertengahan Mei 1998. Mereka bukan dari kalangan muslim.

Dari Lorong 27 itu gagasan besar dilahirkan, baik di bidang pendidikan, keagamaan, maupun yang berkaitan dengan persoalan kebangsaan dan kemanusiaan. Yayasan Al-Jihad yang menaungi lembaga pendidikan hingga perguruan tinggi, termasuk Sekolah Tinggi Shalahuddin Al-Ayyubi, lahir dari sana. Tanpa kecuali, pendirian Pesantren An-Nawawi di Tanara, Banten, tanah kelahiran Syekh Nawawi al-Bantani, pada 1995.

Di Lorong 27 pula, para pemimpin kita berjumpa, bersilaturrahmi dan berdiskusi hingga dini hari. Tentu masalah umat dan bangsa yang dibahasnya. “Dulu Gus Dur dan Habib Luthfi sering ke sini, ngobrol sampai pagi,” jelas KMA suatu ketika, pada akhir 2007, sambil menunjuk sudut pojok di ruang tamunya.

Sebagai kader NU, saya dkk. hanya meniatkan untuk selalu “tabarrukan”, ngalap berkah, mencari segala bentuk kebaikan. Termasuk ketika harus mengabadikannya menjadi Lorong Dua Tujuh ini. Kepada teman-teman sering saya tegaskan bahwa ternyata cita-cita dan perjuangan besar justru diraihnya dari “jalan” yang kecil. Tak ada yang tidak mungkin.

Itulah pelajaran yang sangat berharga. Harus menjadi teladan kita semua!

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

13 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

23 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

52 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya