Presiden Joko Widodo perlu mencermati hasil kerja Panitia Seleksi Calon Pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Sembilan anggota panitia seleksi itu telah meloloskan sejumlah calon yang rekam jejaknya kurang bagus. Jika hasil akhir proses seleksi tersebut benar-benar mengecewakan, Presiden harus menolaknya.
Kalangan aktivis antikorupsi selama ini telah meragukan independensi sejumlah anggota Panitia Seleksi yang diangkat oleh Presiden itu. Sebagian dari mereka dinilai memiliki konflik kepentingan karena bekerja di kepolisian. Mereka adalah Yenti Garnasih dan Indriyanto Seno Adji, yang masing-masing menjabat Ketua dan Wakil Ketua Panitia Seleksi, serta Hendardi sebagai anggota. Yenti menjadi pengajar di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri. Sedangkan Indriyanto dan Hendardi merupakan staf ahli Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian.
Hasil kerja Panitia Seleksi semakin dipertanyakan setelah mereka mengumumkan 20 calon yang lolos dalam tahap penilaian profil. Sebagian nama itu memiliki rekam jejak yang kurang elok. Mereka, antara lain, adalah Kepala Polda Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Firli Bahuri dan Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Inspektur Jenderal Antam Novambar.
Saat bertugas di KPK, Firli diduga pernah melanggar kode etik lantaran menemui bekas Gubernur Nusa Tenggara Barat Zainul Majdi, yang sedang menjadi saksi dalam penyelidikan kasus korupsi. Sedangkan Antam diduga pernah mengintimidasi mantan Direktur Penyidikan KPK, Endang Tarsa.
Komisi antikorupsi juga mencatat beberapa nama kandidat yang lolos ternyata tidak patuh membuat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara dan pernah menerima gratifikasi. Temuan itu seharusnya menjadi dasar Panitia Seleksi untuk langsung mencoret nama yang bersangkutan.
Panitia Seleksi semestinya cermat dalam menelusuri rekam jejak semua calon, termasuk kandidat dari kepolisian. Apalagi tak ada aturan yang mewajibkan adanya unsur kepolisian dalam kepemimpinan KPK. Panitia seharusnya menyaring calon sesuai dengan syarat baku, yakni tidak pernah melakukan perbuatan tercela, cakap, jujur, serta memiliki integritas moral yang tinggi dan reputasi yang baik.
Independensi KPK akan tergerus bila kelak dipimpin oleh personel kepolisian. Selama ini hubungan KPK dan kepolisian pun kerap diwarnai konflik. Kepolisian selalu menyerang balik ketika penyidik komisi antikorupsi mengendus kasus korupsi pejabat kepolisian.
Kita masih ingat perseteruan "Cicak versus Buaya" yang dimulai pada 2009 ketika KPK menyadap telepon Kepala Badan Reserse Kriminal Inspektur Jenderal Susno Duadji, yang diduga menerima suap. Konflik serupa muncul ketika Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka kasus "rekening gendut" pada 2015. Pemimpin KPK kemudian balik dijadikan tersangka oleh kepolisian.
Gesekan antar-lembaga penegak hukum tentu tidak sehat. Tapi solusinya bukan dengan membiarkan kepolisian mengendalikan siapa yang terpilih menjadi pemimpin KPK. Pemerintah seharusnya justru menguatkan kapasitas komisi antirasuah. Presiden Jokowi juga perlu memastikan bahwa pemimpin KPK mendatang bukanlah figur titipan dari kepolisian.