Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Jangan Jadi Teror Baru

Oleh

image-gnews
Polisi mengamankan seorang pria yang belum diketahui identitasnya, seusai baku tembak antara Densus 88 dan kelompok terduga teroris di Jalan Kaliurang, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, Sabtu, 14 Juli 2018. Hingga saat ini polisi masih melakukan penyelidikan terkait dengan penangkapan dan baku tembak tersebut. ANTARA.
Polisi mengamankan seorang pria yang belum diketahui identitasnya, seusai baku tembak antara Densus 88 dan kelompok terduga teroris di Jalan Kaliurang, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, Sabtu, 14 Juli 2018. Hingga saat ini polisi masih melakukan penyelidikan terkait dengan penangkapan dan baku tembak tersebut. ANTARA.
Iklan

KEPOLISIAN Republik Indonesia harus segera mengumumkan nasib tak kurang dari 350 terduga teroris yang ditangkap dan ditahan Detasemen Khusus 88 Antiteror di seluruh Indonesia selama tiga bulan terakhir. Kondisi fisik dan psikis mereka harus diperiksa saksama dan hasilnya diumumkan secara terbuka. Ini penting untuk membuktikan benar-tidaknya tuduhan mereka menjadi korban interogasi yang berlebihan semasa di tahanan polisi.

Respons cepat Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menanggapi tudingan ini amat diharapkan untuk menjernihkan simpang-siur informasi yang kini beredar. Akibat tertutupnya proses penangkapan dan penahanan para terduga teroris, publik hanya mendapat informasi sepihak dari pihak-pihak yang mempersoalkan cara kerja polisi. Apalagi keluarga dan pengacara mengklaim tak diberi akses untuk menjenguk mereka.

Jika kelak ada indikasi bahwa penangkapan para terduga teroris ini menyalahi prosedur dan ada teknik pemeriksaan yang mengarah pada penyiksaan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia harus segera meminta polisi menghentikan operasi antiterornya. Kemudian Komnas HAM bisa memulai penyelidikan atas dugaan tindak pidana pelanggaran hak asasi berat.

Sejauh ini, polisi hanya menyatakan orang-orang yang ditangkap adalah anggota Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Penangkapan dilakukan karena Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada akhir Juli 2018 memutuskan JAD terbukti berafiliasi dengan organisasi teroris Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Masalahnya, apakah keterkaitan dengan organisasi teroris tertentu cukup kuat sebagai alasan penangkapan?

Kita tahu operasi antiteror Detasemen Khusus 88 menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme sebagai dasar hukumnya. Undang-undang yang baru direvisi sepekan setelah insiden bom Surabaya pada Mei 2018 itu memang memberikan keleluasaan kepada polisi untuk menciduk terduga teroris secara diam-diam. Polisi juga boleh menahan terduga teroris selama 200 hari untuk kepentingan penyidikan. Kewenangan besar ini diberikan agar polisi bisa mengantisipasi dan menggagalkan serangan teror sebelum terjadi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di lapangan, kewenangan besar itu rawan disalahgunakan. Penangkapan tanpa memberi tahu keluarga sulit dibedakan dengan penculikan. Lamanya waktu penahanan juga bisa dinilai melanggar hak asasi tersangka. Selain itu, Undang-Undang Antiterorisme punya definisi yang terlampau luas soal "terduga teroris" dan cara penanganannya. Akibatnya, simpatisan atau orang yang punya hubungan dengan organisasi teroris saja dapat ditangkap polisi, tanpa peduli derajat keterlibatan yang bersangkutan.

Penegakan hukum yang serampangan bisa merusak kepercayaan publik pada kapabilitas dan profesionalisme polisi dalam menangani kasus terorisme. Selama ini, warga menaruh harapan besar pada kemampuan Detasemen Khusus 88 untuk mendeteksi jejaring teror dan menggagalkan rencana-rencana mereka. Sayang jika modal kepercayaan itu tergerus oleh operasi-operasi antiteror yang sulit dipertanggungjawabkan.

Karena itu, sudah saatnya Dewan Perwakilan Rakyat mengkaji kembali pasal-pasal yang bermasalah dalam Undang-Undang Pemberantasan Terorisme. Selain itu, DPR bisa membentuk tim pengawas penanggulangan terorismesesuatu yang justru menjadi amanat Undang-Undang Antiterorisme sendiri. Ini harus segera dilakukan agar operasi pemberantasan terorisme tidak menebar teror baru.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

25 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


27 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

37 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

52 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

53 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.