Bahkan Sanksi FIFA Tak Seharga Nyawa Tragedi Kanjuruhan

Penulis

Senin, 17 Oktober 2022 13:00 WIB

Tragedi Kanjuruhan terjadi akibat kerusuhan antara suporter usai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang pada 1 Oktober 2022. Hingga saat ini, korban tewas telah mencapai 130 jiwa dan menjadikannya sebagai bencana sepak bola terbesar kedua di dunia. REUTERS

Editorial Tempo.co

---

ANCAMAN sanksi Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) tak sepantasnya menjadi pertimbangan dalam menuntut pertanggungjawaban pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) atas pembantaian di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, 1 Oktober lalu. Menerima sanksi FIFA, kalau pun benar terjadi, rasanya lebih terhormat ketimbang tetap menyerahkan nasib persepakbolaan Indonesia di tangan-tangan tak bertanggung jawab.

Beberapa hari terakhir, sejumlah kalangan menyuarakan adanya potensi sanksi FIFA jika seluruh rekomendasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Peristiwa Stadion Kanjuruhan Malang (TGIPF) dijalankan. Pangkalnya adalah rekomendasi TGIPF agar Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan dan seluruh jajaran Komite Eksekutif PSSI mengundurkan diri.

Disetorkan kepada Presiden Joko Widodo, Jumat, 14 Oktober lalu, laporan hasil investigasi TGIPF juga memuat rekomendasi kepada seluruh pemangku kepentingan PSSI agar mempercepat pelaksanaan kongres atau menggelar Kongres Luar Biasa (KLB). TGIPF menyatakan pemerintah tidak akan memberikan izin pertandingan sepak bola profesional di bawah PSSI sampai adanya perubahan dan kesiapan yang signifikan, khususnya dalam mengelola serta menjalankan kompetisi.

Advertising
Advertising

Beberapa politikus, pengurus asosiasi sepak bola tingkat provinsi, hingga manajemen klub menilai pelaksanaan rekomendasi tersebut dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap PSSI. Mereka mengingatkan intervensi pemerintah pernah menyebabkan pencabutan keanggotaan PSSI oleh FIFA pada akhir Mei 2015. Walhasil tim nasional maupun klub Indonesia dilarang mengikuti kompetisi internasional di bawah naungan FIFA dan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC).

Ada banyak alasan untuk mengabaikan ancaman tersebut. Pertama, laporan TGIPF telah menguatkan bukti bahwa 132 nyawa yang melayang dan 580 orang luka-luka seusai pertandingan Arema FC versus Persebaya pada 1 Oktober lalu di Kanjuruhan lebih tepat disebut sebagai korban pembantaian, bukan kelalaian. Sepatutnya semua pemangku kepentingan berpikir bahwa sepak bola, bahkan sanksi FIFA sekalipun, tak seharga nyawa.

Laporan TGIPF memang menggambarkan tindakan anggota polisi yang menembakkan gas air mata secara brutal ke tengah lapangan, bahkan tribun penonton, adalah “mesin pembunuh” dalam peristiwa Kanjuruhan. Namun investigasi TGIPF juga mengungkap bahwa “kuburan massal” pada Sabtu malam itu telah digali jauh-jauh hari. Dan pengurus PSSI nyata-nyata adalah salah satu penggali liang kubur itu.

TGIPF menyatakan PSSI tak menyiapkan personel match commissioner sesuai kualifikasi sehingga tak memberikan rekomendasi bahwa infrastruktur Stadion Kanjuruhan tak layak menyelenggarakan pertandingan berisiko tinggi. Otoritas tertinggi sepak bola Indonesia itu juga dinilai tak melakukan pelatihan secara memadai kepada penyelenggara pertandingan tentang regulasi FIFA. Bukan hanya itu. Regulasi PSSI tentang keselamatan dan keamanan hanya mengadopsi 30 persen dari ketentuan FIFA. Isinya pun sarat dengan upaya pengurus untuk dibebaskan dari tanggung jawab atas musibah di pertandingan.

Presiden Joko Widodo harus memastikan laporan TGIPF tersebut tak berakhir menjadi tumpukan dokumen di atas meja. Penegakan hukum atas pembantaian di Kanjuruhan tak boleh berhenti pada enam orang yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Sesuai rekomendasi TGIPF, Polri kudu mengembangkan penyelidikannya terhadap semua pihak yang terlibat, mulai dari anggota kepolisian yang memberikan rekomendasi izin keramaian serta menyediakan dan menembakkan gas air mata, sampai dengan PSSI yang tak melakukan pengawasan atas keamanan dan kelancaran pertandingan.

Rekomendasi TGIPF agar kepemimpinan dan kepengurusan PSSI diganti sudah tepat. Penyelidikan kepolisian dalam dugaan pidana hanya upaya hukum untuk memberikan rasa keadilan—yang sebenarnya tak mungkin sepenuhnya diperoleh para korban beserta keluarganya. Di luar itu, ada kebutuhan tak kalah mendesak untuk menjamin persepakbolaan di Indonesia dikelola secara profesional, berintegritas, transparans, akuntabel, dan bebas dari konflik kepentingan di masa mendatang.

Sikap pengurus PSSI yang tak bermoral, sejak awal terus mengelak ikut bertanggung jawab atas pembantaian di Kanjuruhan, sudah cukup untuk menganggap mereka sebagai penghalangnya.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya