Kurang Imajinasi RUU KUHP

Penulis

Senin, 11 Juli 2022 00:00 WIB

Massa menampilkan poster sindiran untuk pemerintah saat menggelar aksi di sekitar Istana Bogor, Rabu, 6 Juli 2022. Aliansi Bogor tolak RKUHP yang terdiri dari berbagai universitas kota Bogor, kembali menggelar aksi dengan tuntutan dibukanya draft RKUHP terbaru. TEMPO/Muhammad Syauqi Amrullah

DEMOKRASI memerlukan imajinasi, kata Azar Nafisi dalam The Republic of Imagination yang terbit pada 2014. Ilmuwan politik asal Iran di John Hopkins University Amerika Serikat itu menganalisis mengapa demokrasi di Amerika hidup dan berkembang. Jawabannya adalah budaya warga negaranya dalam membaca sastra yang menumbuhkan imajinasi dan kebebasan berpikir. Demokrasi tanpa imajinasi akan seperti pikiran para penyusun Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

Atau dalam penyusunan hukum apa pun. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah acap memakai perspektif yang sempit. Pikiran sempit ini terjadi karena minimnya debat gagasan karena mereka menganggap partisipasi publik tidak penting. Jika pun ada, publik hanya dibatasi pada ahli, pakar, atau mereka yang dianggap mumpuni dalam sebuah bidang. Rakyat kebanyakan—mereka yang terkena imbas beleid-beleid itu—tak punya tempat dalam proses legislasi kita. Bahkan ada kesan, di era pemerintahan Joko Widodo ini, rakyat dianggap sebagai pengganggu proses politik.

Dalam hal RUU KUHP, pemerintah dan DPR hanya mengundang para ahli untuk menyusun naskah akademik hingga membunyikannya dalam lebih dari 700 pasal. Tak heran jika revisi naskah kitab hukum pidana Indonesia ini bertaburan perspektif mengejar warga negara sebagai kriminal. Hukum tak dibuat untuk mencegah kejahatan, melainkan mengedepankan sanksi—seperti polisi di pengkolan yang menunggu kesalahan pengendara untuk menilangnya.

Karena itu ada banyak hal-hal mentah dan wagu dalam RUU KUHP. Misalnya, Pasal 338 tentang ancaman hukuman bagi siapa saja yang menghasut hewan sehingga membahayakan orang lain. Mereka yang memelihara anjing di rumah, lalu melatihnya agar menjaga rumah dari maling, bisa-bisa masuk penjara karena pencuri itu terluka oleh serangan anjing yang sedang berjaga.

Ada banyak pasal aneh di RUU KHUP yang akan dibahas dan disahkan DPR setelah 15 Agustus 2022. DPR menargetkan RUU KUHP yang bolak-balik dibahas sejak 2000 itu bisa sah setelah masa reses satu bulan sejak pekan lalu selesai. Dalam draf yang sudah diserahkan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Omar Hiariej ke DPR, ada 14 masalah krusial yang akan dibahas pemerintah dan DPR, seperti penodaan agama, ilmu sihir, pidana mati, aborsi, perzinaan.

Advertising
Advertising

Di luar 14 masalah krusial itu, ada banyak pasal lain yang lentur sehingga tafsirnya bisa dibelok-belokkan sesuka hati para penegak hukum. Misalnya, soal penghinaan kepada lembaga atau menghukum para gelandangan dengan denda Rp 1 juta. Alih-alih mengentaskan kemiskinan dan mendorong pemenuhan hak-hak warga negara, pemerintah lebih senang menghukum mereka karena miskin.

Hukum seperti ini hanya lahir dari mereka yang tak punya imajinasi, pakar-pakar hukum yang pikirannya berhenti di abad lalu ketika pemerintahan kolonial Belanda membuat hukum pidana dengan semangat memenjarakan penduduk Nusantara. Maka siapa saja yang dianggap menghina Ratu akan dijebloskan ke bui. Padahal, dalam demokrasi modern, menghina Ratu, kepala negara, atau mereka yang berkuasa adalah bagian dari kritik. Demokrasi tanpa kebebasan menghina pejabat publik bukan demokrasi.

DPR dan para pejabat kita tak belajar dari pembahasan UU Ibu Kota Negara yang super kilat. Setelah beleid itu sah, baru mereka paham ada banyak bolong. Bentuk Otorita Khusus pemerintahan Ibu Kota Nusantara dalam UU IKN bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintah Daerah yang tak mengakui jenis khusus pemerintahan IKN. Itu karena DPR dan pemerintah hanya mendengar ahli-ahli yang pro percepatan pemindahan ibu kota negara, sesuai ambisi Jokowi.

Pemerintah dan DPR tutup kuping pada pendapat yang kontra. Imajinasi pun menjadi terbatas, termasuk pikiran-pikiran sebaliknya dari rumusan-rumusan yang mereka buat. Maka tak mengherankan jika para ahli hukum hendak menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi. Jika tiap undang-undang digugat lalu gugur karena perspektifnya keliru, betapa mahal membuat hukum di Indonesia.

Para pakar hukum dan pemerintah serta DPR yang menyewanya mesti paham esensi demokrasi dan pembuatan aturan, yakni partisipasi publik. Menyertakan pendapat yang beragam sekaligus pengakuan bahwa kebenaran ada di mana-mana, termasuk dalam pendapat-pendapat yang tak mereka suka. Karena RUU KUHP akan mengatur hajat hidup orang banyak, seharusnya orang banyak pula yang terlibat membahasnya.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya