75 Tahun Indonesia Maju: Anak Maju, Menantu Maju

Penulis

Ubedilah Badrun

Senin, 17 Agustus 2020 15:09 WIB

Presiden Jokowi mengenakan baju adat Sasak saat sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2019. ANTARA

Merenung adalah cara terbaik bagi siapapun ketika deretan angka usia bertambah. Pun bagi sebuah negara seperti Indonesia yang sudah 75 tahun. Apalagi dalam situasi prihatin, merenung menjadi jalan kontemplasi yang membangunkan nalar sekaligus mengentakkan jiwa, artinya nalar bekerja.

Masalahnya pekerjaan merenung melakukan proses kontemplasi hanya mungkin dilakukan oleh manusia yang akal dan jiwanya hidup dan bekerja normal untuk selalu memperjuangkan common good. Menjadi dahsyat hasilnya jika kontemplasi itu dilakukan oleh elit yang sedang berkuasa.

Di situlah letak masalahnya. Bung Rocky Gerung mungkin yang punya jawaban apakah akal dan jiwa elit republik ini bisa bekerja normal. Ini ada bab nya tersendiri. Biar bung Rocky Gerung yang menarasikannya.

Diantara proses kontemplasi yang paling mengentakkan jiwa adalah menghidupkan nalar untuk masuk ke nalar publik, nalar rakyat banyak. Meminjam narasi bung Karno 'nalar marhaen', nalar orang-orang tertindas. Di situ bisa memunculkan sejuta tanya? Apa sesungguhnya yang terjadi di republik ini?

Jawabannya terlalu banyak untuk diurai. Coba kita tengok beberapa saja dari kacamata politik dan ekonomi. Faktanya di usia 75 tahun Indonesia, pertama kali dalam sejarah, Ayah sudah maju jadi Presiden, Anak Maju jadi calon wali kota, menantu juga maju jadi calon walikota. Ini dinasti politik berselimut pilkada.

Advertising
Advertising

Benar, maju dalam pilkada adalah hak konstitusional setiap warga negara, tetapi maju jadi calon wali kota saat ayah dan mertuanya jadi Presiden ini soal kemiskinan jiwa, miskin etika politik. Lebih parah lagi ternyata sang Ayah yang merestui.

Karenanya 75 tahun Indonesia merdeka, yang merdeka itu dinasti politik, oligarki politik, dan para oligark ekonomi. Dukungan para cukong (oligark ekonomi) dalam membiayai pilkada adalah juga persoalan serius yang seringkali menjadi bencana bagi rakyat di daerah di kemudian hari.

Ya, mereka merdeka, tetapi rakyat banyak menderita. Tengoklah angka kemiskinan, lima bulan lalu, angka resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan lebih dari 26 juta jiwa rakyat Indonesia menderita miskin, itu angka resmi yang terdata. Data lain bisa lebih dari itu, apalagi kini situasi ekonomi makin memburuk.

Tengoklah juga angka pengangguran yang kini terus bertambah, mendekati angka 10 juta orang menganggur. Angka pertumbuhan ekonomi semakin hari semakin minus. Angka resmi year on year minus 5 % lebih, jika menggunakan Q on Q minusnya bisa dua kali lipat lebih.

Di sisi politik. Para pengkritik kekuasaan yang membela rakyat seringkali diteror bahkan diancam dibunuh seperti yang terjadi di Yogyakarta. Ada yang bekerja melakukan ini. Juga ada buzzer, ada influencer yang sengaja merusak kebebasan sipil. Ruang publik horizontal sebagai prasyarat sehatnya demokrasi telah dirusak.

Sejumlah akademisi, intelektual, agamawan, civil society yang tergabung dalam KAMI (Koalisi Aksi untuk Menyelamatkan Indonesia) yang menyuarakan kepentingan publik, kepentingan rakyat banyak juga mulai ada semacam intimidasi. Seperti yang diungkapkan tokoh KAMI Prof. Dr. Din Syamsudin beberapa waktu lalu.

Dengan fakta itu (dinasti, oligarki, teror, intimidasi, buzzer, dll) maka demokrasi di Indonesia mengalami erosi, semakin tidak berkualitas, uncivilized . Tentu ini merusak substansi Indonesia sebagai negara republik.

Faktanya kebebasan sipil di Indonesia saat ini memang sudah lampu merah, angkanya 57,35 dari skala 0-100 (BPS,2020). Menurut data yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU, 2020), Indonesia mencatatkan skor sebesar 6,48 poin dalam skala 0-10. Lebih rendah dari Filipina, Malaysia dan Timur Leste. Tentu ini angka yang buruk, menempatkan Indonesia dinilai yang rendah dari kategori flawed democracy (demokrasi yang cacat).

Arah pemberantasan korupsi juga makin kacau, agenda reformasi justru dikorupsi, koruptor di lingkaran kekuasaan tak jelas kabarnya (misalnya kasus Harun Masiku), pelanggaran HAM baru terus terjadi (penembakan mahasiswa di Kendari dll), pelanggaran HAM yang lama tak satupun dituntaskan. Jadi makna 75 tahun adalah juga episode buruk penegakan Hak Azasi Manusia. Penindasan atas kebebasan dan penderitaan ekonomi bersamaan, nyaris sempurna.

Nasib buruh, para pekerja, semakin mengkhawatirkan dengan ngototnya pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RUU Omnibus Law. RUU yang pro oligarki ekonomi. Merugikan buruh, dan menyuramkan masa depan generasi millennial yang sebagian saat ini masih menjadi mahasiswa. Generasi yang tuntutan-tuntutannya dicuekin pemerintah.

Beda dengan anak Presiden dan menantu Presiden. Mereka istimewa bisa jadi calon wali kota. Katanya untuk Indonesia Maju.

Indonesia Maju? Yang jelas, Anak Maju Menantu Maju!

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

22 jam lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

10 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

39 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya