Reformasi Total BPJS

Penulis

Selasa, 9 Juni 2020 06:50 WIB

Peserta BPJS Kesehatan tengah mengurus kelengkapan administrasi di Kantor BPJS Kesehatan Cabang Pasar Minggu, Jakarta, Kamis, 14 Mei 2020. Presiden Joko Widodo alias Jokowi kembali mengumumkan Perpres kenaikan tarif BPJS Kesehatan. Tempo/Tony Hartawan

Langkah Presiden Joko Widodo menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada awal Mei 2020 adalah kebijakan yang keliru. Keputusan itu tak menyelesaikan masalah pokok yang memicu defisit BPJS, yakni melambungnya jumlah tagihan pelayanan kesehatan akibat kekacauan data dan penyalahgunaan sistem (fraud) yang terjadi dari hulu hingga hilir.

Tim investigasi majalah ini menemukan potensi kerugian BPJS Kesehatan mencapai Rp 47,6 triliun. Kerugian itu terjadi di setidaknya enam kluster persoalan: manajemen BPJS sendiri, pemerintah daerah, rumah sakit dan klinik, Kementerian Kesehatan, perusahaan yang karyawannya terdaftar sebagai anggota BPJS, serta para peserta mandiri. Jika kecurangan sistem ini diperbaiki, defisit BPJS yang tahun lalu mencapai Rp 15,5 triliun bisa tertutup tanpa harus menaikkan iuran peserta.

Dari enam kluster masalah itu, hampir separuh dari total kerugian—sekitar Rp 16 triliun—berasal dari rumah sakit dan klinik. Komisi Pemberantasan Korupsi menghitung pembayaran perawatan tak perlu (unnecessary treatment) untuk pasien diperkirakan merugikan BPJS hingga Rp 10 triliun setiap tahun. Sedangkan tindakan ratusan rumah sakit yang mengajukan pembayaran untuk kelas yang lebih tinggi dari seharusnya membuat BPJS diperkirakan menderita kerugian hingga Rp 6 triliun.

Kluster lain yang menyumbangkan kerugian cukup besar adalah kekacauan data peserta mandiri. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengungkap ada 27,44 juta pasien kategori penerima bantuan iuran (PBI) yang datanya kacau. Pemerintah mengakui ada 30 juta peserta PBI yang datanya belum sinkron dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Potensi kerugian BPJS di sini mencapai Rp 9 triliun.

Solusi untuk berbagai kecurangan itu memang tidak sederhana, tapi bukan di luar jangkauan. Pasalnya, kesalahan tidak terletak pada manajemen BPJS semata, tapi pada kurangnya koordinasi di antara berbagai lembaga dan kementerian. Presiden Joko Widodo harus menegaskan bahwa pembenahan BPJS adalah prioritas utama pemerintah.

Advertising
Advertising

Potensi kerugian pada kluster rumah sakit dan klinik, misalnya, bisa diatasi jika Kementerian Kesehatan menerbitkan pedoman nasional pelayanan kedokteran (PNPK). Tanpa pedoman itu, temuan kecurangan dalam pelayanan medis tidak bisa ditindak secara hukum. Kementerian Kesehatan baru menyelesaikan 40 PNPK dari total 74 pedoman yang dibutuhkan BPJS. Gencarnya lobi asosiasi profesi di bidang kedokteran dan sejumlah gugatan hukum di Mahkamah Konstitusi membuat proses perumusan pedoman ini amat lambat.

Kecurangan rumah sakit yang menagih biaya pelayanan kesehatan di atas kelasnya juga bisa diatasi jika Komisi Akreditasi Rumah Sakit di Kementerian Kesehatan konsisten dan telaten melakukan audit. Sanksi untuk rumah sakit yang terbukti mengakali akreditasinya harus ditegakkan. Pada zaman Menteri Kesehatan sebelumnya, Nila Moeloek, pemerintah menemukan 615 rumah sakit yang ditengarai menaikkan kelas. Sebaliknya, Menteri Kesehatan saat ini, Terawan Agus Putranto, belum merespons laporan tentang 898 rumah sakit yang melakukan tindakan serupa.

Selain itu, kekacauan data anggota BPJS yang masuk kategori penerima bantuan iuran bisa diatasi jika Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sosial mensinkronkan data kependudukan mereka. Nyatanya, yang terjadi sekarang saling lempar bola di antara dua kementerian itu. Lagi-lagi dibutuhkan pengarahan yang tegas dari pucuk pimpinan negeri ini.

Masalah di BPJS Kesehatan bisa di­atasi lebih dini jika mekanisme pengawasan di lembaga itu berjalan dengan baik. Saat ini, BPJS memiliki dua lembaga pengawas, Dewan Jaminan Sosial Nasional dan dewan pengawas di lingkup internal. Tapi mereka bak macan kertas karena tak punya kedudukan hukum yang kuat dan anggarannya minim. Perbaikan struktur dan manajemen BPJS tak boleh ditunda-tunda.

Presiden Jokowi tak perlu menunggu sampai Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 yang mengatur kenaikan iuran BPJS digugat lagi ke Mahkamah Agung untuk mengoreksi keputusan itu. Pada Februari lalu, lembaga yudikatif tertinggi itu sudah menegaskan dalam Putusan Nomor 7P/HUM/2020 bahwa kenaikan iuran hanya bisa dilakukan jika pemerintah memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan yang ditanggung BPJS.

Tetap berkeras menaikkan iuran tanpa mengatasi akar masalah defisit BPJS tidak hanya melawan putusan Mahkamah, tapi juga ibarat menggarami lautan. Presiden Jokowi tentu tak mau dikenang sebagai kepala pemerintahan yang keputusannya kerap dibatalkan di pengadilan.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

10 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

39 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya