Decameron

Selasa, 9 Juni 2020 08:00 WIB

KEMATIAN berubah di Firenze di abad ke-14. Wabah menjarah kota Italia yang makmur itu seperti pasukan asing yang melampiaskan dendam. Orang mati tiap hari. Di pagi hari di depan rumah penduduk akan tampak jenazah yang belum sempat diangkut para becchini, penggali kubur, yang tak henti-hentinya bekerja. Makam penuh. Seorang pencatat sejarah lokal menggambarkan puluhan jasad yang bertumpuk di liang lahad itu “seperti lapisan demi lapisan keju di atas lasanye”.

Pes itu memang pembunuh cepat. Sekitar 8.000 anak sekolah, 30 ribu pemintal wool, 600 notaris dan advokat, 60 dokter, dan 140 padri masuk daftar mereka yang mati. Akhirnya dicatat 50 ribu penduduk Firenze punah (dan itu berarti angka mortalitas di atas 50 persen) selama dua musim di tahun 1344.

Pelan-pelan, sisa kota terdiam. Lonceng gereja tak lagi dibunyikan; dentangnya membuat ngeri orang-orang yang sakit. Misa tak ada lagi. Wabah memecah bangunan sosial jadi benteng-benteng kecil tempat berlindung. Persentuhan berarti penularan. Bahkan ada ayah-ibu yang tak mau merawat anak mereka yang terserang pes dan hampir mati. Berkabung jadi kesunyian masing-masing.

Kematian berubah di Firenze: mati tak hanya berarti meninggal, tapi ditinggal. Rumah kehilangan arti. Dalam kekuasaan Maut, hidup seperti pengungsian.

Tapi sebuah pengungsian tak pernah jadi keadaan normal yang baru. Juga di kota tua ini, Maut tak bisa mutlak. Di sana-sini manusia menemukan jalan untuk berkelit dari jangkauannya. Dengan imajinasi yang setengah nekat setengah gentar, manusia menciptakan alternatif.

Advertising
Advertising

Decameron adalah salah satunya. Giovanni Boccaccio (1313-1375) menggubah karya yang kemudian termasyhur itu setelah wabah Firenze. Tapi kita bisa melihatnya sebagai pembebasan imajiner dari teror epidemi dan kematian. Novel ini (kalaupun bisa disebut “novel’) menyambut kegairahan hidup dengan tak merasa berdosa.

Ceritanya dimulai dengan reportase yang suram tentang wabah dan kematian di Firenze. Tapi, segera sesudah itu, adegan berubah: syahdan, di sebuah gereja, tujuh perempuan muda bertemu....

Mereka bosan. Salah seorang dari mereka, Pampinea, berkata, “Kita di sini tak melakukan apa-apa... selain menghitung-hitung mayat yang dikuburkan.” Lebih baik, katanya pula, “Kita pergi dan tinggal di salah satu vila kita di pedalaman.” Di sana ada burung-burung, bukit-bukit hijau, dan ladang jagung yang seperti laut.

Dengan kata lain, alam yang telanjang, sebagai antitesis bagi kematian—khususnya kematian yang bukan lagi jalan ke keabadian, melainkan jurang yang terisolir. Dengan alam yang terbuka, dengan manusia yang tak ditutupi pelbagai lapisan, hidup lebih terasa berharga.

Gadis-gadis itu pun menuju pedalaman, ditemani tiga pemuda. Di vila tempat mereka mengkarantina diri, mereka mengisi hari secara rutin. Di waktu pagi dan senja, mereka berjalan-jalan, menyanyi, dan makan dan minum anggur yang lezat. Di antara itu, mereka duduk bersama. Tiap orang membawakan kisah yang themanya disepakati: hari ini tentang kedermawanan, esok jiwa besar, lusa kepintaran, dan seterusnya, untuk 10 hari. Akhirnya ada 100 cerita: Decameron.

Tapi thema di sana sebenarnya tak penting. Setidaknya tak ada batas dalam cerita-cerita itu. Kita baca misalnya satu kisah yang membuat Decameron berabad-abad dianggap kitab cabul: cerita Rustico, rahib yang mengajari gadis Alibech, perawan polos yang pergi ke padang gurun untuk dekat dengan Tuhan. Sang rahib ingin membantunya. Kepada Alibech ia mengatakan ia tersiksa, sebab satu bagian tubuhnya adalah Iblis yang suka bangun. Agar tak mengganggu, Iblis itu harus dimasukkan ke neraka, kata sang rahib kepada si gadis—dan “neraka itu ada di selangkanganmu”. Maka beribadahlah Alibech dengan rajin menjebloskan Iblis itu ke neraka....

Tampaknya, yang penting dalam Decameron adalah berbagi keasyikan. Bahasanya bahasa Italia yang dikenal banyak orang; tokohnya umumnya orang-orang tanpa décorum. Seperti Boccaccio, mereka bukan ningrat, tapi bagian nuova gente, kelas menengah terpelajar yang mengutamakan nilai-nilai zaman Renaissance: bukan lagi kegagahberanian kesatria dan keteguhan iman, seperti di Abad Pertengahan, melainkan hidup yang lugas, kenikmatan badani, dan eros yang membangkitkan semangat.

Kisah-kisah Boccaccio memang tak mengajarkan moral. Tapi dengan realisme sebuah novel, karya ini sebuah “karnival” dalam pengertian Mikhail Bakhtin: tak satu arah, tak satu kisah. Yang bercerita tampil bergantian, dengan pandangan yang mungkin berselisih.

Ada campur aduk: cerita dan tokoh bisa dari mana saja, baik dari puisi Dante maupun dari Pancatantra, dongeng-dongeng Hindustan. Tak ada ajaran filsafat. Hidup hadir dalam wujud yang konkret: bisa lurus, bisa bengkok. Dosa badan diakomodasi sebagai kenyataan. Juga yang dilakukan mereka yang berjubah agama.

Karnival, kata Bakhtin, “membebaskan orang dari rasa takut, membawa dunia dan orang lain saling dekat sedekat-dekatnya”. Karnival mengalir, menentang yang mandek seperti dogma dan keseriusan berwajah angker.

Decameron adalah karnival: dengan keasyikan bersama ia menentang kematian—bukan sebagai transisi, tapi kemandekan.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

2 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

11 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

40 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya