Konservasi Setengah Hati

Jumat, 29 Mei 2020 07:00 WIB

Pungky Widiaryanto

Rimbawan dan Pemerhati Konservasi


Kita patut bangga mempunyai biodiversitas tinggi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengklaim keanekaragaman hayati Indonesia menempati urutan pertama di dunia. Sayangnya, setelah hampir 75 tahun merdeka, konservasi sumber daya alam dan ekosistem itu masih setengah hati. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sekitar 2 juta hektare kawasan konservasi rusak, biodiversitas atau keanekaragaman hayati terancam bahkan ada yang punah.

Masalahnya memang cukup kompleks. Supaya jelas, hal ini perlu dipandang dari sisi politik ekologi konservasi. Ada beberapa aspek yang bisa direnungkan. Pertama, diakui atau tidak, upaya konservasi Indonesia adalah warisan kolonial Hindia Belanda.

Pada awal abad ke-20, Hindia Belanda menetapkan Natuurmonumenten atau kawasan konservasi sebagai wilayah jajahan baru. Beberapa sultan dipaksa untuk menetapkannya. Banyak juga yang asal mengklaim padahal ada masyarakat "pribumi" di dalamnya. Setelah ditetapkan, kawasan ini sangat eksklusif bagi orang Eropa dan kroninya untuk berwisata serta berburu. Orang "pribumi" diusir bahkan ditembak jika masuk dan mengambil hasil dari kawasan ini. Bahkan para peneliti dan konservasionis kolonial sering membuat publikasi serta presentasi di kalangan internasional yang menyalahkan penduduk lokal sebagai faktor hilangnya biodiversitas.

Advertising
Advertising

Untuk memperkuatnya, pemerintah Hindia Belanda membuat berbagai peraturan yang kaku untuk masyarakat lokal. Ironisnya, prinsip-prinsip konservasi ini diadopsi setidak-tidaknya hingga 1990-an, tapi beberapa peraturan sampai kini masih menggunakan paradigma tersebut.

Setelah Indonesia merdeka, kawasan konservasi warisan kolonial jarang ditinjau kembali. Bahkan pembentukan beberapa taman nasional menjiplak peta Belanda, yang tidak menghiraukan penduduk lokal. Tak mengherankan bila banyak konflik kepemilikan tanah di kawasan tersebut.

Bagi penjajah, keanekaragaman hayati merupakan barang dagangan. Hindia Belanda juga mewariskan pemanenan dan sistem perdagangan biodiversitas. Contohnya adalah eksploitasi burung cenderawasih. Karena permintaan tinggi, pemerintah Hindia Belanda menjadikannya komoditas ekspor. Importirnya adalah negara Eropa dan Amerika Serikat. Konservasionis kolonial seolah-olah menutup mata terhadap gencarnya perburuan cenderawasih. Pelarangan pernah dikeluarkan tapi tidak efektif. Belakangan, Inggris dan Amerika memboikotnya setelah tahu barang itu dari hasil perbuatan dosa. Ekspor pun turun. Banyak pemburu dan pedagangnya gulung tikar.

Pemanenan dan perdagangan satwa liar ternyata diadopsi masyarakat Indonesia kini. Meski dengan dalih penangkapan berdasarkan kuota, di lapangan tak ada yang menjamin demikian. Bahkan inventarisasi stok biodiversitas sebagai ukuran penentuan kuota panen jarang dilakukan. Kini tak hanya pemanenan dari alam, peternakan atau penangkaran beberapa spesies satwa liar menjadi bisnis yang menguntungkan.

Kedua, kawasan konservasi sering identik dengan obyek wisata. Gerakan konservasi di ranah internasional dipengaruhi oleh deklarasi Taman Nasional Yellowstone di Amerika sebagai taman nasional pertama dunia pada 1872. Tujuan Amerika saat itu adalah mencari obyek wisata baru sekaligus menjadikannya identitas nasional. Salah satu cara pengembangan wisatanya adalah dengan memberikan konsesi kepada swasta.

Tampaknya Indonesia meniru gaya Amerika ini. Taman nasional seolah-olah bisa disewakan kepada pengusaha. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem menyebutkan sekitar 5 juta hektare kawasan konservasi dialokasikan untuk pengusaha. Saat ini, paling tidak sudah ada 50 konsesi. Tidak semuanya aktif. Hanya sepertiga yang beroperasi dan untung. Yang lain rugi atau hanya berspekulasi.

Ketiga, dulu lembaga swadaya masyarakat sering kali menjadikan isu konservasi untuk menyusun proposal proyek yang hasilnya konon untuk mengintervensi kebijakan konservasi. Bisa mendorong pemerintah setempat menetapkan suatu taman nasional merupakan indikator kesuksesan.

Pada era itu, penetapan taman nasional bahkan jarang melihat proyeksi pengembangan wilayah. Apalagi pemerintah daerah belum paham betul soal konservasi dan sistem pemerintahan masih terpusat. Akibatnya, belakangan banyak pemangku kepentingan setempat bersitegang dengan kaum konservasionis.

Penetapan kawasan konservasi seharusnya menjadi kedaulatan negara karena menyangkut pembangunan regional. Penunjukan kawasan konservasi seharusnya menghargai keberadaan masyarakat lokal sehingga konflik kepemilikan dapat diantisipasi. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur dan perkebunan di sana tidak lagi menjadi kambing hitam perusak kawasan konservasi.

Indonesia kini memasuki babak baru pembangunan lima tahun. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, konservasi keanekaragaman hayati menjadi salah satu prioritas pembangunan. Di tengah masa pandemi Covid-19, dunia seakan rehat sejenak dan alam pun mempunyai waktu memulihkan diri. Inilah masa yang tepat bagi kita untuk melakukan introspeksi tentang kelestarian keanekaragaman hayati untuk generasi penerus.

*) Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

11 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

40 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya