Moratorium Utang Negara Berkembang

Penulis

Tri Winarno

Rabu, 27 Mei 2020 06:47 WIB

Tri Winarno

Pengamat Kebijakan Ekonomi

Ketika wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) menyebar ke seluruh penjuru dunia, bencana ekonomi dan ledakan pengangguran global merupakan suatu keniscayaan. Namun permasalahan ekonomi di negara berkembang sudah dapat dipastikan jauh lebih buruk dibandingkan dengan yang terjadi di Cina, Eropa, dan Amerika Serikat.

Negara berkembang tidak hanya berpacu dengan krisis kemanusiaan, tapi juga sedang menuju krisis keuangan yang serius setidak-tidaknya sejak 1930-an. Aliran modal dipastikan menuju tempat-tempat yang aman, keluar dari wilayah yang berisiko, dan dapat dipastikan gelombang default tak terhindarkan.

Saya secara konsisten menganjurkan moratorium sementara pembayaran utang oleh semua negara, terutama dari peminjam di negara-negara berkembang yang selama ini masuk kategori peminjam "amanah". Kasus moratorium utang ini memiliki kesamaan dengan moratorium yang diberikan kepada debitur rumah tangga, usaha kecil dan menengah, serta pemerintah daerah.

Advertising
Advertising

Sudah lebih dari 90 negara meminta pendanaan darurat dari Instrumen Pendanaan Cepat (RFI) Dana Moneter Internasional (IMF) dan pinjaman darurat dari Bank Dunia. Kebanyakan negara berkembang akan menghadapi kesulitan akibat pandemi ini setidak-tidaknya sampai akhir tahun ini. Ketika hal itu terjadi, dampak kemanusiaan dan ekonomi yang langsung menyertainya adalah turunnya perdagangan global dan anjloknya harga komoditas di pasar internasional, yang sekarang mulai dirasakan oleh banyak negara berkembang.

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan perdagangan global tahun ini akan menyusut pada kisaran 13-32 persen. Negara-negara penghasil minyak telah mengalami penderitaan akibat dari perang harga antara Arab Saudi dan Rusia, yang akan memicu penurunan sovereign credit rating negara-negara berkembang dan emerging market yang ke depan semakin mengkhawatirkan.

Para pemimpin negara maju harus menyadari bahwa kondisi normal tidak akan terjadi selama pandemi masih menyelimuti bumi ini. Tentu suatu pandangan yang sempit jika kreditur mengharapkan pembayaran utang saat negara berkembang membutuhkan dana untuk mengatasi pandemi, mengingat keterbatasan sumber daya dari negara berkembang tersebut.

Memperdalam dan memperlama depresi global adalah proposisi yang sangat berisiko. Pada 1980-an, pangsa negara berkembang dan emerging market hanya 18 persen dari produk domestik bruto (GDP) global dan tahun ini pangsanya menjadi 41 persen, setara dengan 60 persen jika menggunakan metode purchasing power.

Saya merekomendasikan moratorium sementara dan langsung untuk pembayaran utang eksternal bagi semua debitur, kecuali bagi mereka yang sovereign credit rating AAA. Utang eksternal adalah utang yang diterbitkan di bawah yurisdiksi peradilan internasional, seperti yang diterbitkan di New York atau London.

Utang-utang yang diterbitkan berdasarkan hukum domestik dapat diselesaikan oleh tiap negara yang terlibat. Agar keringanan utang ini menjadi efektif, moratorium tersebut harus mencakup utang-utang pada kreditur multilateral, seperti utang pada IMF dan Bank Dunia serta kreditur yang tergabung dalam Paris Club dan pemerintah Cina ditambah utang dari investor swasta.

Utang itu akan direstrukturisasi. Tak ada alternatif terhadap default parsial yang dinegosiasikan. Pengadilan dan kreditur multilateral akan kewalahan menghadapi default utang massal, sehingga dibutuhkan moratorium sementara yang akan menjadi jembatannya. Dalam skenario terbaik, langkah ini akan mencegah gagal bayar.

Bank Dunia dan IMF punya pengalaman yang memadai ihwal negara-negara yang menghadapi kesulitan membayar utang dan akhir-akhir ini mereka semakin menyadari bahwa default parsial sering dianggap sebagai opsi realistis yang tersisa. Pengalaman membuktikan bahwa setelah GFC 2009, Uni Eropa gagal mencari cara untuk merestrukturisasi utang Eropa selatan, termasuk Yunani. Mencoba memaksakan pembayaran utang secara reguler dalam kondisi yang tidak normal hanya akan memperdalam dan semakin memperlama resesi negara-negara tersebut, yang sebenarnya tidak perlu terjadi jika masalah restrukturisasi dapat diatasi.

Tentu saja, moratorium utang sangat membutuhkan peran Amerika, karena negara tersebut mempunyai hak veto paling efektif di IMF. Namun peran Cina juga masih dibutuhkan karena selama dua dasawarsa ini semakin banyak negara berkembang yang berpaling ke Cina untuk mendapatkan pinjaman (yang selalu dengan agunan dan menggunakan bunga pasar). Walaupun sekarang Cina merupakan kreditur utama dunia terhadap lebih dari 40 negara, sejauh ini Cina menolak untuk bergabung dengan Paris Club—lembaga yang mengkoordinasi penjadwalan utang—dan berkeras tetap menggunakan pendekatan bilateral secara tertutup.

Apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasi hal tersebut? Yang jelas, IMF dan Bank Dunia memiliki kapasitas dan pengalaman untuk mengkoordinasi moratorium utang jika Amerika dan pemain utama lainnya menyadari bahwa langkah tersebut merupakan bagian dari kepentingan nasional mereka. Kreditur swasta relatif tidak mempunyai pilihan, kecuali bekerja sama dalam jangka pendek ini. Apa pun yang akan terjadi, negara-negara berkembang akan segera menghentikan pembayaran utangnya. Karena itu, para pemangku kepentingan harus segera mengambil langkah bijak dan tepat agar masalah ini tidak semakin mempercepat krisis keuangan global.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

9 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

38 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya