Isolasi

Rabu, 20 Mei 2020 06:04 WIB

Hidup terdiri atas bermacam-macam kesendirian. Masing-masing kita sesekali punya (atau ingin punya, atau sebaliknya takut untuk punya) ruang isolasi.

Dalam hikayat dan sejarah, ada orang-orang yang bersunyi diri untuk memperoleh sesuatu yang lebih bernilai dari yang selama ini ada pada dirinya, di sebuah hening yang total. Dikisahkan tentang Panembahan Senapati di abad ke-17 dalam Serat Wedhatama, “lelana lalading sepi/ Ngingsep sepuhing supana”: mengembara ke tempat-tempat yang sunyi, untuk merenung dan mendapatkan kearifan tentang hidup. Atau seperti Airlangga di Kerajaan Kediri di abad ke-12 yang turun takhta dan masuk hutan untuk “menyepi” sampai ia wafat. Isolasinya adalah sejenis penyucian diri dari najis yang selalu menempel pada kekuasaan.

Agama-agama memuliakan pilihan keheningan seperti itu dan kita dibawa untuk percaya ada hubungan kesunyian dengan kesucian. Iman dibangun dengan sejumlah ikon meditasi: Gua Hira menjelang Muhammad menjadi Rasul; padang gurun tempat Yesus berpuasa dan menolak Kerajaan Dunia; pohon Bodhi di Bihar, tempat Siddhartha Gautama bersemadi setelah meninggalkan kehidupan seorang pangeran.

Dalam zaman yang bising kini agaknya Thomas Merton, seorang rahib Trappist, penyair, mistikus, dan filosof, yang masuk kembali ke hidup pertapaan sebagai sesuatu yang jauh tapi sekaligus dekat dengan sekitar. Tulisnya: “Menyendiri, solitude...” (saya temukan dalam A Year with Thomas Merton: Daily Meditations from His Journals) “...bukanlah semata-mata sebuah hubungan negatif.” Baginya, menyendiri adalah “berpartisipasi dalam kesendirian Tuhan, yang ada di segala hal”.

Umum diketahui, dalam pertapaan Ordo Trappist, para rahib hampir sepenuhnya hidup tanpa percakapan. Mereka hanya menggunakan kata-kata seperlunya, di celah-celah jam-jam panjang berdoa, kemudian jam-jam panjang bekerja, di ladang mereka yang selalu diolah. Dan dalam hal Merton: juga menulis. Salah satu catatan hariannya, 4 Januari 1950, mengungkapkan rasa berbahagia: “Kini aku tahu, aku memasuki hari di mana aku akan dapat hidup tanpa kata-kata.”

Advertising
Advertising

Thomas Merton tentu tak menafikan bahasa; ia orang yang telah menulis sekitar 50 buku. Tapi baginya bahasa mempunyai “daerah-tak-bertuan” yang tak secara sungguh-sungguh menggabungkan dirinya dengan orang lain.

Dari catatan harian 18 Januari, bisa kita bayangkan ia di luar pertapaan, mendengarkan dari tepi hutan lonceng berbunyi, dan merasakan keheningan dan kesendirian justru sebagai “bagian semesta sepenuhnya pas ke dalam lingkungan pepohonan, kebisuan, dan kedamaian”. “Apa saja yang kaulakukan,” tulisnya, menjadi sebuah kesatuan dan sebuah doa. “Diamku adalah bagian dari diamnya seluruh dunia... membangun candi Tuhan tanpa suara palu bertalu-talu.”

Dari catatan itu kita segera tahu, pertapaan Thomas Merton bukan sebuah isolasi. Bahkan sebaliknya. “Kesendirian dan kesunyian mengajariku untuk mencintai saudara-saudaraku sebagaimana mereka adanya, bukan sebagaimana kata-kata mereka.” Isolasi Merton bukan kesendirian Chairil Anwar: “Ini sepi terus ada. Dan Menanti.”

Mungkin itu yang membedakan jarak fisik dengan jarak sosial: dalam ribuan kilometer ketika tubuh kita berpisah, keakraban bukan mustahil; demikian juga sebaliknya, kedekatan fisik tak membuat orang mau saling menyapa. Maka ada yang melihat isolasi terutama di masa wabah hanya sebagai cara penyelamatan diri atau, kalau tidak, cara mengunggulkan diri di atas yang lain yang rata-rata tak tahan.

Saya ingat Henry David Thoreau. Pada 4 Juli 1845, ia, seorang penulis berumur 28 tahun, mulai berdiam di sebuah pondok kayu kecil yang ia bangun sendiri di hutan sekitar Kolam Walden, tak jauh dari Concord, Massachusetts, di Amerika Serikat bagian timur. Thoreau, yang tak pernah menikah, hidup menyendiri di gubuk itu selama dua tahun. Catatannya tentang kehidupan sunyi itu ia terbitkan dalam sebuah buku yang kemudian termasyhur dalam sastra Amerika, Walden, or Life in the Woods separuh memoar dan separuh rekaman renungan tentang manusia dan alam.

Buku itu, dalam kata-kata John Updike, novelis yang juga penulis kritik, “sebuah totem bagi semangat ‘kembali-ke-alam’”. Kini ia bisa dianggap pemberi ilham bagi kaum pencinta lingkungan meskipun mungkin Walden, seperti kata Updike, punya risiko “akan dikagumi dan tidak dibaca seperti Injil”.

Tak dapat dimungkiri Walden ditulis seseorang yang tekun merekam hampir tiap gerak alam di kesunyian itu. Tapi ketika saya membacanya (setelah mendengar pujian bertubi-tubi), saya temukan di dalamnya sebuah isolasi yang tanpa kompromi. Walden membuat jarak fisik menjadi jarak sosial sekaligus. “Berada bersama orang lain, bahkan dengan yang terbaik, segera akan meletihkan dan menguras tenaga. Aku suka bersendiri. Aku tak pernah menemukan teman bersama yang asyik selain kesendirian.” Bagi Thoreau dalam Walden, masyarakat umumnya “terlalu murahan”, commonly too cheap. Nilai manusia “bukan dalam kulitnya hingga kita harus menyentuhnya”.

Yang ditampik Walden adalah kenyataan bahwa manusia adalah kulit, jangat, darah, saraf. Pendek kata, tubuh, bukan hanya roh; gairah, bukan hanya pikiran.

Itu sebabnya manusia membentuk peradaban dengan karnaval, jemaat, nonton bola bersama, menari cak yang riuh dan rapat, bergoyang bareng dalam dangdut pantura, membuat flash mob berdansa di sudut jalan dengan Waltz No. 2 Shostakovich.

Apa boleh buat. Hari-hari ini saya cemas: dalam hidup bersama Covid-19, kita akan kehilangan yang bareng dan yang gayeng itu.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya