Utak-Atik Opsi Pilkada

Selasa, 19 Mei 2020 06:19 WIB

Mouliza K.D. Sweinstani

Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI


Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia belum kunjung usai. Hal ini menyebabkan terganggunya jadwal pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang seharusnya digelar pada 23 September mendatang. Kondisi ini praktis membuat penyelenggaraan pemilihan yang akan diikuti oleh 270 daerah itu harus diatur ulang.

Dalam rapat dengar pendapat Komisi Pemilihan Umum dan Dewan Perwakilan Rakyat pada 30 Maret lalu, KPU mengusulkan tiga opsi jadwal baru pilkada, yaitu pada 9 Desember 2020, 17 Maret 2021, dan 29 September 2021. Namun Dewan akhirnya memilih opsi pertama. Pemerintah pun telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang mengakomodasi perubahan jadwal tersebut.

Dorongan untuk tetap menyelenggarakan pilkada serentak pada 2020 itu menjadi cukup masuk akal dan akan menguntungkan, terutama bagi kelompok oposisi. Sekalipun seharusnya dalam sebuah negara dengan sistem pemerintahan presidensial tidak dikenal kelompok koalisi dan oposisi, nyatanya di Indonesia dua kubu tersebut menjadi faksi politik cukup kuat yang saling berkompetisi dalam mengambil ceruk dukungan masyarakat. Bila pemilihan tetap dilaksanakan pada tahun ini, pejabat pengganti kepala daerah yang masa jabatannya habis pada tahun ini tentu tidak diperlukan.

Advertising
Advertising

Apabila pemilihan digelar tahun depan, penjabat kepala daerah dibutuhkan dan kemungkinan besar akan dipilih dari pihak pendukung penguasa. Secara otomatis, hal ini akan merugikan posisi kelompok oposisi, yang tidak mendapatkan "kue politik" dari momentum tersebut. Dampak lebih jauh, sekalipun pejabat itu memiliki kewenangan terbatas dalam menjalankan roda pemerintahan, ia dapat menarik hati rakyatnya untuk mengarahkan pilihan politik pada kepentingan elite politik atau partai yang ia wakili. Panggung politik untuk investasi elektoral yang demikianlah yang mungkin sulit diperoleh pihak yang tidak mendapatkan kue politik apabila jadwal pemilihan mundur pada tahun depan.

Penetapan pemilihan pada Desember ini tidak berarti tanpa konsekuensi. Bahkan, menurut saya, menyelenggarakan pesta demokrasi di tengah pandemi seperti saat ini cukup riskan. Pertama, jika pemilihan dilaksanakan pada Desember mendatang, setidaknya pada Juni ini tahapan pemilihan sudah harus dimulai. Namun tampaknya hal itu cukup kontradiktif dengan kondisi darurat pandemi yang masih akan berlangsung hingga 29 Mei, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diperpanjang, atau bahkan baru dimulai di berbagai daerah, dan temuan beberapa kluster baru penularan Covid-19.

Bila tahapan pemilihan dipaksakan untuk segera dilakukan, hal ini juga dapat berdampak pada konsekuensi kedua, yaitu kesehatan dan keselamatan penyelenggara pemilihan. Tentunya pengalaman pahit yang mengorbankan para penyelenggara Pemilihan Umum 2019 tidak ingin kita ulang, bukan?

Konsekuensi ketiga berkaitan dengan partisipasi politik masyarakat. Penerapan kebijakan jaga jarak sosial, yang mengharuskan masyarakat membatasi kegiatan sosial dan tetap berdiam di rumah, dikhawatirkan dapat berpengaruh pada partisipasi pemilih nanti. Sementara sebelum pandemi pemilih yang berdomisili bukan di daerah asal dapat pulang kampung dan menggunakan hak pilihnya, atau melakukan pindah pilih, saat ini hal tersebut sulit dilakukan. Apalagi sejauh ini belum ada pihak yang dapat memastikan kapan pandemi ini berakhir atau justru gelombang kedua pandemi akan terjadi.

Kekhawatiran akan turunnya partisipasi pemilih ini berkelindan dengan konsekuensi selanjutnya, yang berkaitan dengan legitimasi kepala daerah terpilih. Meskipun tidak bisa kita maknai bahwa partisipasi politik pemilih yang dilihat dari voters turn out harus tinggi, hal tersebut berkolerasi dengan legitimasi kepala daerah terpilih. Bila partisipasi pemilih rendah, bisa jadi kepala daerah terpilih mendapatkan persentase suara yang lebih rendah daripada persentase pemilih yang tidak menggunakan haknya. Jika hal ini terjadi, legitimasi atas keterpilihannya dapat dipertanyakan.

Melihat beberapa konsekuensi yang mungkin terjadi itu, pemerintah harus segera membuat exit plan, terutama jika pandemi belum kunjung berakhir. Kondisi pandemi membuat diskusi ihwal opsi alternatif dalam penyelenggaraan pemilihan masih terbuka lebar. Apalagi dalam Pasal 201A ayat 3 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2020 dinyatakan bahwa apabila pemilihan pada Desember 2020 tidak dapat dilaksanakan, akan dijadwalkan kembali setelah bencana non-alam ini berakhir. Sayangnya, mengapa tidak sedari awal pemerintah dan DPR menyepakati opsi kedua atau ketiga yang diajukan oleh KPU pada 30 Maret lalu? Mengubah jadwal pilkada 2020 menjadi pilkada 2021 sebetulnya dapat menjadi opsi terbaik dalam kondisi saat ini. Meskipun semua serba dalam ketidakpastian, jika penyelenggaraan pemilihan diundur hingga waktu yang semakin menjauhi bencana ini, pemilihan itu diharapkan dapat terselenggara pada masa yang lebih kondusif.

Setiap alternatif tentu memiliki konsekuensi yang perlu dipertimbangkan masak-masak oleh partai politik, eksekutif, legislatif, dan penyelenggara pemilihan. Sudah menjadi kewajiban bersama bahwa pilihan yang diambil haruslah pilihan terbaik. Pilihan itu juga harus menghindari penumpang gelap yang hanya akan mengambil keuntungan sepihak pada masa pandemi ini. Hal yang paling utama adalah upaya mengutamakan kepentingan masyarakat di atas segalanya, termasuk ambisi elektoral untuk mengamankan suara dalam pemilihan pada masa depan.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

5 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

34 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya