Tragedi tewasnya tiga anak buah kapal ikan Long Xin 629 berbendera Cina menjadi bukti lemahnya perlindungan pemerintah Indonesia terhadap buruh migran di sektor perikanan. Pemerintah harus mendesak otoritas Cina agar mengusut dugaan perbudakan tersebut, sembari melakukan pelbagai pembenahan di dalam negeri.
Cerita memilukan itu terungkap dalam tayangan stasiun televisi Korea Selatan, MBC. Pada 5 Mei lalu, MBC menayangkan pelarungan anak buah kapal (ABK) asal Indonesia, yang kemudian viral di media sosial. Menurut MBC, empat ABK asal Indonesia tewas ketika bekerja di kapal milik perusahaan asal Cina, Dalian Ocean Fishing Co. Ltd. Tiga orang meninggal di laut dan satu orang lainnya meninggal di rumah sakit di Busan, Korea Selatan.
Berdasarkan penyelidikan MBC yang masih berlangsung, ada dugaan keempat ABK itu sakit setelah mendapatkan perlakuan tak manusiawi. Misalnya, mereka dipaksa bekerja selama 30 jam dengan waktu istirahat enam jam. Jika menolak perintah, mereka disiksa dan hanya diperbolehkan minum air laut. Dengan segala penderitaan itu, mereka hanya dibayar Rp 1,7 juta selama 13 bulan.
Ini bukan kasus pertama perbudakan di laut lepas dengan korban orang Indonesia. Berdasarkan catatan Migrant Care, ada 205 aduan tentang pelanggaran hak ABK Indonesia sepanjang 2012-2019. Liputan investigasi Tempo pada 2017 juga menemukan jejak ribuan warga Indonesia yang terjebak praktik perbudakan di kapal ikan berbendera Taiwan. Mereka tak terdata sebagai tenaga kerja resmi, baik di Indonesia maupun di negara asal perusahaan yang mempekerjakan mereka.
Akar persoalan perbudakan di kapal ikan asing sebagian berada di dalam negeri. Ketidakmampuan pemerintah Indonesia dalam menyediakan lapangan kerja mendorong penduduk usia produktif mengadu nasib di kapal ikan asing, dengan segala risikonya. Masalahnya kian pelik karena negara pun tak memberi perlindungan yang memadai. Buktinya, banyak pekerja Indonesia di kapal ikan asing yang tak memiliki dokumen resmi, sertifikat kecakapan kerja, apalagi perlindungan asuransi. Kondisi itu terus dimanfaatkan agen tenaga kerja jahat yang menjebak para calon ABK dalam kontrak kerja yang merugikan atau tanpa kontrak sama sekali.
Kementerian Perhubungan dan Kementerian Tenaga Kerja harus membereskan tumpang-tindih kewenangan soal proses seleksi, perizinan, dan pengawasan atas agen penyalur anak buah kapal ikan. Pemerintah juga harus memastikan semua calon ABK memiliki pengetahuan dan kecakapan yang memadai, serta mengantongi kontrak kerja yang melindungi mereka. Untuk meningkatkan pengawasan, pemerintah perlu mempererat kerja sama dengan negara asal perusahaan yang mempekerjakan para ABK itu.
Pada sisi regulasi, pemerintah harus segera menerbitkan peraturan tentang penempatan anak buah kapal ikan, yang menjadi amanat Pasal 64 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran. Pemerintah juga perlu segera meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 188 Tahun 2007 Mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Konvensi itu mengatur batas umur, standar waktu kerja dan upah, jaminan sosial, hingga perlindungan keselamatan.
Pendek kata, pemerintah harus segera menjamin kepastian hukum di dalam negeri serta memperkuat pembelaan atas hak anak buah kapal asal Indonesia di forum internasional.
Berita terkait
IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan
1 hari lalu
RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.
Baca SelengkapnyaApriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi
10 hari lalu
Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.
Baca Selengkapnya33 hari lalu
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik
39 hari lalu
Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.
Baca SelengkapnyaPenjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City
12 Februari 2024
Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.
Baca SelengkapnyaUrgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"
12 Februari 2024
Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.
Baca SelengkapnyaPT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta
6 Februari 2024
PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.
Baca SelengkapnyaBagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina
5 Februari 2024
Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.
Baca SelengkapnyaBamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai
22 Januari 2024
Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.
Baca SelengkapnyaPrabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia
15 Januari 2024
Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.
Baca Selengkapnya