Jangan Tergesa-gesa Proyek Sawah

Penulis

Rabu, 6 Mei 2020 06:01 WIB

Seorang petani membawa gabah dengan sepeda motor di kawasan persawahan yang mengering di Cibarusah, Jawa Barat, 28 Juli 2015. Petani menyatakan hanya bisa memanen satu ton per hektar. TEMPO/Dhemas Reviyanto

PEMERINTAH mesti mengkaji ulang rencana membuka sawah baru guna mengatasi ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Memaksakan diri membangun proyek besar-yang sebelumnya pernah gagal-tanpa perencanaan matang hanya akan berujung kegagalan.

Indikasi grasah-grusuh soal proyek ini sudah terlihat dari proses munculnya ke publik. Presiden Joko Widodo, dalam rapat terbatas, secara tiba-tiba memerintahkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara membuka sawah baru guna mengantisipasi krisis pangan. Argumentasi yang dikemukakan masuk akal, yaitu prediksi Badan Pangan dan Pertanian PBB ihwal adanya potensi krisis pangan global pada April dan Mei akibat terhambatnya rantai pasok pangan di dunia.

Ide besar Jokowi disambar Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, yang langsung menyodorkan lahan gambut di Kalimantan Tengah dengan luas lebih dari 900 ribu hektare. Sampai di sini, terlihat sekali tidak ada sebuah kajian yang komprehensif tentang proyek ini.

Pemerintah seolah-olah melupakan kegagalan proyek mercusuar pembangunan sawah satu juta hektare di Kalimantan Tengah yang pernah digagas Presiden Soeharto pada 1995. Hasilnya: proyek berantakan, target swasembada beras ambyar, dan dampak kerusakan lingkungan tersisa sampai sekarang.

Mencetak sawah dalam jumlah besar merupakan proyek raksasa. Butuh perencanaan matang di segala lini, dari pembukaan lahan, pembangunan bendungan, jaringan irigasi, penyediaan pupuk, hingga penyediaan tenaga penggarap. Kalau satu hektare sawah membutuhkan 15 penggarap, 900 ribu hektare lahan memerlukan 13,5 juta penggarap. Ini jumlah orang yang sulit dipenuhi di daerah tersebut. Belum lagi soal kebutuhan air yang besar di area gambut yang sangat mudah terbakar. Ketidakpahaman tentang ekosistem gambut hanya akan menimbulkan bencana ekologis.

Advertising
Advertising

Memerintahkan Kementerian BUMN untuk ikut dalam proyek ini juga harus dikaji lebih jauh lagi. Kegagalan program pencetakan sawah 100 ribu hektare di Ketapang, Kalimantan Barat, pada 2012, yang berakhir di pengadilan, seharusnya menjadi pelajaran. Dari target fantastis tersebut, hanya terwujud 0,1 persen atau 100 hektare. Badan Pemeriksa Keuangan menemukan indikasi penyalahgunaan dana dalam proyek yang digarap Kementerian BUMN itu. Diduga ada proyek fiktif pencetakan sawah senilai Rp 252 miliar hasil patungan berbagai BUMN dalam Program Kemitraan dan Bina Lingkungan.

Ketimbang mencetak sawah baru di lahan gambut, lebih baik pemerintah mengoptimalkan lahan pertanian yang terbengkalai. Salah satunya dengan memanfaatkan lahan perkebunan, disatukan dengan tanaman pangan lainnya. Cara ini jauh lebih realistis untuk mengatasi ancaman krisis pangan.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

2 jam lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

9 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

38 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya