Kurnia Ramadhana
Peneliti Hukum pada Indonesia Corruption Watch
Indonesia Corruption Watch (ICW) baru melansir data tren vonis pengadilan tindak pidana korupsi sepanjang 2019. Hasilnya mengecewakan. Rata-rata vonis untuk terdakwa kasus korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Ini menandakan bahwa mimpi Republik untuk menciptakan negeri yang bebas dari praktik korupsi sebenarnya masih amat jauh untuk bisa terealisasi.
Memang benar bahwa prinsip hukum menyatakan res judicata pro veritate habetur, setiap putusan harus dianggap benar. Namun, sebagai bentuk partisipasi publik dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, rasanya penting untuk memberikan kritik konstruktif kepada lembaga peradilan tersebut agar putusan hakim benar-benar bisa menggambarkan nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat sebagai pihak yang terkena dampak korupsi.
Setidaknya ada tiga persoalan krusial dari temuan ICW itu. Pertama, maraknya putusan ringan yang dijatuhkan setiap tingkatan pengadilan, baik judex facti maupun judex juris. Data putusan yang dihimpun sepanjang 2019 sebanyak 1.019 perkara dengan 1.125 terdakwa. Mirisnya, dari semua terdakwa, 842 orang di antaranya divonis ringan (0-4 tahun) dan hanya sembilan orang yang diganjar dengan hukuman berat (di atas 10 tahun). Tak hanya itu, dibanding periode sebelumnya, putusan pada 2019 justru paling banyak membebaskan terdakwa, yakni 41 orang.
Putusan ringan itu tentu akan berimplikasi serius. Selain pada pemberian efek jera kepada pelaku, hal ini akan berimbas terhadap kinerja penegak hukum, baik kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi, yang terlibat langsung dalam proses unjuk bukti di persidangan. Proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan seketika runtuh akibat putusan hakim yang justru malah menghukum ringan para pelaku korupsi.
Kedua, pemulihan kerugian keuangan negara masih belum dipertimbangkan dengan baik. Total kerugian negara yang diakibatkan oleh praktik korupsi sepanjang tahun lalu sebanyak Rp 12 triliun, sedangkan pidana tambahan berupa uang pengganti yang tercantum dalam semua putusan hanya Rp 748 miliar. Ditambah lagi, hakim mengenakan pasal yang berkaitan dengan Undang-Undang Anti-Pencucian Uang hanya pada delapan terdakwa.
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengakomodasi pidana tambahan berupa pengenaan uang pengganti. Poin ini semestinya dapat dimaksimalkan, terlebih pada kasus dengan jenis korupsi berupa kerugian keuangan negara. Hal ini penting agar kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh praktik korupsi dapat segera dipulihkan secara maksimal.
Undang-Undang Anti-Pencucian Uang berkaitan sangat erat dengan kejahatan korupsi. Selain korupsi dikategorikan sebagai predicate crime sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Anti-Pencucian Uang, pelaku korupsi pada kenyataannya selalu berupaya menyembunyikan hasil kejahatannya agar tidak terjaring penegak hukum. Pembuktiannya pun cukup mudah karena Undang-Undang Anti-Pencucian Uang mengakomodasi pembalikan beban pembuktian dan menerapkan pendekatan baru, yakni follow the money.
Ketiga, upaya narapidana kasus korupsi yang mengajukan peninjauan kembali (PK) masih sering dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Data menunjukkan bahwa setidaknya enam terpidana korupsi yang perkaranya ditangani oleh KPK mendapat pengurangan hukuman di tingkat PK. Model pengurangannya pun beragam, dari pengurangan masa pemidanaan penjara hingga penghapusan uang pengganti. Memang benar bahwa PK merupakan hak terpidana yang dijamin undang-undang, tapi jangan sampai justru PK dijadikan jalan pintas bagi para terpidana untuk mendapat pengurangan hukuman tanpa dilandasi alasan yang kuat.
Pada bagian lain, temuan ini juga menyorot dua putusan kontroversial yang dijatuhkan oleh lembaga peradilan sepanjang 2019, yakni lepasnya Syafruddin Arsyad Temenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan terdakwa kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, dan bebasnya Sofyan Basir, mantan Direktur Perusahaan Listrik Negara dan terdakwa kasus korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1. Perkara pertama dikatakan kontroversial karena dampak kerugian negara sangat besar, yaitu Rp 4,58 triliun, dan untuk Sofyan sendiri merupakan vonis bebas satu-satunya yang ditangani KPK pada 2019.
Momen ini menjadi waktu yang tepat bagi MA yang baru saja mendapat ketua baru. Pertama, Ketua MA harus segera merealisasi penyusunan pedoman pemidanaan perkara tindak pidana korupsi. Ini dilakukan agar para hakim memiliki panduan ketika menyidangkan perkara korupsi. Harapannya, hakim dapat menjatuhkan putusan ideal dengan kategorisasi atau karakteristik perkara tertentu. Pedoman pemidanaan juga akan menjawab persoalan disparitas hukuman yang masih menjadi isu setiap tahun.
Kedua, mesti ada arahan langsung dari Ketua MA kepada para hakim terkait dengan masalah pemulihan kerugian keuangan negara. Sebab, penjeraan akan praktik korupsi diyakini tidak cukup hanya mengandalkan pemidanaan penjara. Arah pemberantasan korupsi pada masa mendatang mesti berpindah ke isu pemulihan kerugian negara. Jika tidak ada campur tangan dari Ketua MA, selisih antara kerugian negara dan uang pengganti masih akan sangat besar.
Untuk itu, MA harus segera berbenah. Jika tidak, kepercayaan publik akan semakin turun terhadap lembaga penentu keadilan ini.