Vonis Korupsi tanpa Efek Jera

Kamis, 30 April 2020 06:00 WIB

Kurnia Ramadhana
Peneliti Hukum pada Indonesia Corruption Watch

Indonesia Corruption Watch (ICW) baru melansir data tren vonis pengadilan tindak pidana korupsi sepanjang 2019. Hasilnya mengecewakan. Rata-rata vonis untuk terdakwa kasus korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Ini menandakan bahwa mimpi Republik untuk menciptakan negeri yang bebas dari praktik korupsi sebenarnya masih amat jauh untuk bisa terealisasi.

Memang benar bahwa prinsip hukum menyatakan res judicata pro veritate habetur, setiap putusan harus dianggap benar. Namun, sebagai bentuk partisipasi publik dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, rasanya penting untuk memberikan kritik konstruktif kepada lembaga peradilan tersebut agar putusan hakim benar-benar bisa menggambarkan nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat sebagai pihak yang terkena dampak korupsi.

Setidaknya ada tiga persoalan krusial dari temuan ICW itu. Pertama, maraknya putusan ringan yang dijatuhkan setiap tingkatan pengadilan, baik judex facti maupun judex juris. Data putusan yang dihimpun sepanjang 2019 sebanyak 1.019 perkara dengan 1.125 terdakwa. Mirisnya, dari semua terdakwa, 842 orang di antaranya divonis ringan (0-4 tahun) dan hanya sembilan orang yang diganjar dengan hukuman berat (di atas 10 tahun). Tak hanya itu, dibanding periode sebelumnya, putusan pada 2019 justru paling banyak membebaskan terdakwa, yakni 41 orang.

Putusan ringan itu tentu akan berimplikasi serius. Selain pada pemberian efek jera kepada pelaku, hal ini akan berimbas terhadap kinerja penegak hukum, baik kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi, yang terlibat langsung dalam proses unjuk bukti di persidangan. Proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan seketika runtuh akibat putusan hakim yang justru malah menghukum ringan para pelaku korupsi.

Advertising
Advertising

Kedua, pemulihan kerugian keuangan negara masih belum dipertimbangkan dengan baik. Total kerugian negara yang diakibatkan oleh praktik korupsi sepanjang tahun lalu sebanyak Rp 12 triliun, sedangkan pidana tambahan berupa uang pengganti yang tercantum dalam semua putusan hanya Rp 748 miliar. Ditambah lagi, hakim mengenakan pasal yang berkaitan dengan Undang-Undang Anti-Pencucian Uang hanya pada delapan terdakwa.

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengakomodasi pidana tambahan berupa pengenaan uang pengganti. Poin ini semestinya dapat dimaksimalkan, terlebih pada kasus dengan jenis korupsi berupa kerugian keuangan negara. Hal ini penting agar kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh praktik korupsi dapat segera dipulihkan secara maksimal.

Undang-Undang Anti-Pencucian Uang berkaitan sangat erat dengan kejahatan korupsi. Selain korupsi dikategorikan sebagai predicate crime sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Anti-Pencucian Uang, pelaku korupsi pada kenyataannya selalu berupaya menyembunyikan hasil kejahatannya agar tidak terjaring penegak hukum. Pembuktiannya pun cukup mudah karena Undang-Undang Anti-Pencucian Uang mengakomodasi pembalikan beban pembuktian dan menerapkan pendekatan baru, yakni follow the money.

Ketiga, upaya narapidana kasus korupsi yang mengajukan peninjauan kembali (PK) masih sering dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Data menunjukkan bahwa setidaknya enam terpidana korupsi yang perkaranya ditangani oleh KPK mendapat pengurangan hukuman di tingkat PK. Model pengurangannya pun beragam, dari pengurangan masa pemidanaan penjara hingga penghapusan uang pengganti. Memang benar bahwa PK merupakan hak terpidana yang dijamin undang-undang, tapi jangan sampai justru PK dijadikan jalan pintas bagi para terpidana untuk mendapat pengurangan hukuman tanpa dilandasi alasan yang kuat.

Pada bagian lain, temuan ini juga menyorot dua putusan kontroversial yang dijatuhkan oleh lembaga peradilan sepanjang 2019, yakni lepasnya Syafruddin Arsyad Temenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan terdakwa kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, dan bebasnya Sofyan Basir, mantan Direktur Perusahaan Listrik Negara dan terdakwa kasus korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1. Perkara pertama dikatakan kontroversial karena dampak kerugian negara sangat besar, yaitu Rp 4,58 triliun, dan untuk Sofyan sendiri merupakan vonis bebas satu-satunya yang ditangani KPK pada 2019.

Momen ini menjadi waktu yang tepat bagi MA yang baru saja mendapat ketua baru. Pertama, Ketua MA harus segera merealisasi penyusunan pedoman pemidanaan perkara tindak pidana korupsi. Ini dilakukan agar para hakim memiliki panduan ketika menyidangkan perkara korupsi. Harapannya, hakim dapat menjatuhkan putusan ideal dengan kategorisasi atau karakteristik perkara tertentu. Pedoman pemidanaan juga akan menjawab persoalan disparitas hukuman yang masih menjadi isu setiap tahun.

Kedua, mesti ada arahan langsung dari Ketua MA kepada para hakim terkait dengan masalah pemulihan kerugian keuangan negara. Sebab, penjeraan akan praktik korupsi diyakini tidak cukup hanya mengandalkan pemidanaan penjara. Arah pemberantasan korupsi pada masa mendatang mesti berpindah ke isu pemulihan kerugian negara. Jika tidak ada campur tangan dari Ketua MA, selisih antara kerugian negara dan uang pengganti masih akan sangat besar.

Untuk itu, MA harus segera berbenah. Jika tidak, kepercayaan publik akan semakin turun terhadap lembaga penentu keadilan ini.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

10 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

39 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya