Wabah dan Borok Kepanikan Sosial

Kamis, 9 April 2020 06:13 WIB

Staf medis menangani pasien di ambulans di RS St Thomas's, saat wabah virus corona Covid-19 di London, Inggris, 26 Maret 2020. REUTERS/Hannah McKay

Seno Gumira Ajidarma
PanaJournal.com

Jelek-jelek saya pernah "meramalkan" situasi wabah Covid-19 ini dalam sebuah kolom berjudul"Flu Ikan! Flu Sayur! Flu Udara!", yang ditulis 14 tahun lalu. Mohon maaf, dalam kolom itu saya memang rada-rada sinis akan ketakutan manusia untuk mati. Konteksnya waktu itu antraks, yang bagi saya terdengar seperti institusi sepur Amerika, Amtrak, tapi dalam bahasa Indonesia artinya sungguh "sastrawi": penyakit sapi gila.

Ringkasnya, saya mengatakan kalau gara-gara antraks manusia menghindari daging sapi, gara-gara flu burung menghindari daging ayam, terus bagaimana kalau berlanjut dan dikepung oleh "flu ikan" (jangan makan semua ikan, pindah makan sayur), "flu sayur" (jangan makan semua sayur, pindah "makan" pernapasan tenaga prana), dan "flu udara" (jangan menghirup udara, tamatlah Homo sapiens)?

Tentu ini hanya imajinasi jail. Sekadar menggoda manusia yang "terlalu sayang" kepada hidup, dalam arti tidak mempunyai ruang pengorbanan secuil pun dalam dirinya. Jadi, kalau ada wabah, bahkan baru mendengar beritanya saja, sudah diterima bagaikan "kiamat". Sikap yang membuat saya menuliskannya sebagai "ke-merèngèk-an yang mengundang penindasan selanjutnya". Saya memang hanya menggoda, setengah menakut-nakuti, tapi serius dengan tesisnya: betapa rapuh kehidupan manusia dalam ketergantungan. Apalagi jika hanya "ketergantungan sekunder": harus makan daging sapi, ayam, dan seterusnya.

Sebetulnya ini hanya cara untuk mengingatkan bahwa ketika ketergantungan itu menjadi absolut, seperti kode "udara" untuk lingkungan hidup, bahwa abainya manusia mempelajari lingkungan hidupnya, apalagi setelah berumah dengan nyaman dalam semesta virtual, merupakan pengingkaran fatal.

Advertising
Advertising

Saya tulis sebagai penutup: "Penyakit sapi gila dan flu burung itu ada, bukan hanya cerita di koran dan televisi. Begitu pula berbagai penyakit baru tapi lama, maupun penyakit baru yang betul-betul baru. Semuanya ancaman bagi kelanjutan spesies manusia. Anda memilih untuk panik dan menghindar ke balik dinding ataukah menghadapinya? Karena flu burung sungguh tak bisa dilawan dengan dukun." (Djakarta!, 21 Maret 2006).

Tak dinyana, yang bagi saya permainan imajinasi hari ini menjadi kehadiran konkret: Covid-19 menyebabkan orang-orang bermasker di mana-mana, tak kurang-kurangnya yang terindikasi positif, sebagian meninggal, dalam kecepatan yang merupakan "rekor wabah", berlangsung praktis secara global, terutama di wilayah urban. Belum pernah dalam sejarah wabah berlangsung mobilisasi, efektif maupun tidak, secara massal di seluruh dunia seperti kasus ini.

Untuk pertama kalinya tema yang hanya terdapat dalam science fiction, baik buku maupun film, menjadi fakta: umat manusia versus apa pun itu yang jelas masih asing tapi berpotensi memusnahkan, setidaknya sebagian. Bedanya, yang disebut science di sini tidaklah canggih futuristik. Selain virusnya barang baru, obatnya belum ada. Cara mengatasi yang paling efektif sungguh purba: masuk gua. Tentu, maksud saya rumah, tapi apalah bedanya? Jadi, rupa-rupanya ada yang lebih penting selain "kemajuan", yang selama ini seolah-olah menjadi tujuan hidup manusia, dan ternyata bukan.

Segala sesuatu yang semula merupakan prioritas tanpa pernah dipertanyakan lagi telah menjadi tidak lebih penting-kegiatan politik, ekonomi, agama, olahraga, kesenian, pendidikan, keamanan. Nyaris semuanya kini dikalahkan oleh satu bidang terpenting, yang meskipun memang resminya kebutuhan primer, tidak selalu mendapat prioritas yang mengutamakan antisipasi situasi seperti ini: kesehatan.

Virus merujuk pada kesehatan raga, tapi yang lebih mewabah dan memakan korban lebih parah dari kematian adalah kepanikan dalam segala pengertian, dari kepanikan moral hingga sosial. Jika kematian memupus penderitaan, kepanikan yang tidak perlu membunuh lebih menyiksa daripada kematian. Apabila kepanikan moral melahirkan keputusan tanpa penalaran, kepanikan sosial yang diakibatkannya memperlihatkan borok kehidupan bersama.

Itulah borok yang berkembang sama cepatnya: (1) kepentingan diri sendiri di atas kepentingan bersama yang terlihat dari permainan harga; (2) arogansi yang meskipun lahir dari kurangnya pengetahuan mengungkap ketidakpedulian dan ketidakpekaan sosial yang merupakan borok rawan, bagi hari ini maupun masa depan; (3) terlacaknya manuver-manuver politis demi kepentingan golongan dalam berbagai aksi viral menyesatkan, termasuk yang tidak melakukan manuver apa pun tapi menanti peluang terbaik dalam disorganisasi otoritas pemerintahan.

Bagaimanapun, dalam suramnya hari demi hari, keindahan manusia masih memperlihatkan kerlip cahaya, dalam pengorbanan tanpa pamrih para pejuang di garis terdepan, maupun bangkitnya gerakan relawan, yang maknanya menyembuhkan pesimisme atas kualitas kebangsaan.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

7 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

36 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya