Masalah Regulasi Pembatasan Sosial Wabah Corona

Jumat, 3 April 2020 06:30 WIB

Ilustrasi virus corona atau Covid-19. REUTERS

Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Presiden Joko Widodo baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Namun sejauh mana peraturan tersebut dapat diimplementasikan secara tepat guna? Philipus Hadjon (1999) menjelaskan bahwa suatu produk hukum akan bermanfaat bagi masyarakat jika memiliki substansi yang tepat guna dengan kondisi yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Dengan melihat substansi yang ada pada peraturan itu, sulit dikatakan bahwa ia akan dapat berlaku efektif dan efisien.

Jika ditelaah secara menyeluruh, secara hukum, peraturan tersebut akan berpotensi kontraproduktif dengan tujuan pembuatannya. Substansi peraturan yang "hanya" berisi tujuh pasal tersebut tampaknya justru berpotensi membuat ketidakpastian masyarakat di tengah wabah. Di samping itu, bentuk formal sebagai peraturan pemerintah terlihat dipaksakan, mengingat seharusnya peraturan pemerintah merupakan aturan hukum yang berlaku umum (tidak berlaku dengan hanya mengacu pada satu peristiwa). Terbitnya peraturan itu jelas dalam rangka percepatan penanganan wabah corona sehingga hanya merujuk pada satu peristiwa khusus.

Dengan mengesampingkan persoalan formalitas, peraturan itu juga masih menyisakan persoalan substansial. Pasal 1 peraturan tersebut mendefinisikan pembatasan sosial berskala besar sebagai "pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19 sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Covid-19".

Persoalan yang terkandung dalam pasal itu adalah adanya frasa "kegiatan tertentu penduduk", tapi arti kata "tertentu" tidak didefinisikan lebih lanjut. Persoalannya adalah pada aspek penegakannya, yakni kegiatan apa yang dilarang dan dibolehkan, mengingat tidak ada definisi kegiatan tertentu tersebut. Tanpa definisi yang jelas, selain tidak efektif, peraturan tersebut rawan penyimpangan dalam penegakan hukumnya.

Advertising
Advertising

Persoalan berikutnya adalah pada Pasal 3 huruf a, yakni frasa kata "menyebar secara signifikan". Peraturan ini tidak menjelaskan lebih lanjut ukuran "signifikan" itu. Tanpa kejelasan ukuran, ia akan berpotensi menimbulkan pemahaman berbeda sehingga menyebabkan pasal tersebut tidak dapat diimplementasikan. Demikian juga dalam Pasal 4 dengan frasa "pembatasan sosial berskala besar paling sedikit meliputi…" . Frasa "paling sedikit" tersebut justru menimbulkan multitafsir dan menyebabkan penegakan hukum tidak memiliki ukuran yang pasti dan obyektif. Hal ini sangat berbahaya bagi masyarakat.

Persoalan berikutnya adalah kewenangan penetapan pembatasan sosial dalam skala besar sebagaimana diatur dalam Pasal 6 peraturan tersebut. Dalam rumusan pasal itu terlihat bahwa menteri dapat mengambil keputusan pembatasan sosial dengan usulan kepala daerah atau Gugus Tugas Covid-19. Bagaimana jika terdapat penilaian yang berbeda antara kepala daerah dan Gugus Tugas? Perlu dipertegas kewenangan menteri dalam menentukan pembatasan sosial berskala besar. Apakah hal itu perlu diusulkan oleh kepala daerah dan mendapat persetujuan Gugus Tugas sebagai bentuk koordinasi ataukah menteri dapat mengesampingkan usul kepala daerah dan Gugus Tugas dalam mengambil keputusan.

Peraturan tersebut juga tidak menyebutkan sanksi apabila substansi di dalam peraturan itu dilanggar atau tidak terlaksana. Artinya, peraturan tersebut tidak memiliki daya paksa untuk dipatuhi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan adanya kebutuhan yang mendesak untuk melaksanakan pembatasan sosial berskala besar. Beberapa persoalan hukum yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa peraturan tersebut akan memiliki banyak kendala sehingga harus didukung dengan peraturan pelaksana yang tingkatannya di bawah peraturan pemerintah.

Substansi yang belum diatur maupun perlu dijelaskan harus dimasukkan sebagai bagian dari substansi peraturan pelaksanaan dari peraturan pemerintah. Demikian juga peraturan pelaksanaan yang didesain pada tahap implementasi nantinya, selain harus mengandung ukuran yang pasti, harus mengandung sanksi. Dalam situasi pandemi seperti saat ini, penegakan hukum yang obyektif akan dapat membentuk perilaku masyarakat sebagaimana diharapkan.

Perilaku masyarakat akan terbentuk apabila peraturan pelaksana memiliki ukuran yang pasti (tidak multitafsir) dan mengandung sanksi jika dilanggar. Dengan demikian, sebagaimana dikatakan oleh Roscoe Pound, hukum sebagai alat untuk merekayasa perilaku masyarakat, dalam hal ini perilaku pembatasan sosial guna melindungi masyarakat dari pandemi Covid-19, dapat terwujud.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

15 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

24 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

53 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya