Liberalisasi Impor Pangan dalam Omnibus Law

Penulis

Khudori

Rabu, 1 April 2020 06:30 WIB

Impor Komoditas Pangan Melejit

Khudori
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan

Di tengah wabah Covid-19, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat masih berkukuh membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial. Aturan berbentuk omnibus law itu akan mengubah regulasi di bidang pangan, terutama perizinan berusaha dan sanksi. Ada dua undang-undang yang menjadi sasaran: Undang-Undang Pangan serta Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Jika dikelompokkan, ada tiga perubahan penting yang hendak digapai lewat Undang-Undang Cipta Kerja. Pertama, mempertegas kewenangan pemerintah pusat dan/atau menarik sejumlah urusan pangan ke pemerintah pusat. Ada kecenderungan rezim perizinan ditarik ke pusat. Hal tersebut mencakup keamanan pangan, bahan tambahan pangan, pangan produk rekayasa genetika, iradiasi pangan, serta standar keamanan pangan dan mutu pangan segar yang selama ini diatur dalam Undang-Undang Pangan. Pengaturan keamanan pangan serta penerapan standar keamanan pangan dan mutu pangan segar dihapuskan. Urusan perizinan usaha yang semula abu-abu ditarik ke pusat.

Kedua, dalam penyelesaian perkara, omnibus law ini lebih memprioritaskan sanksi administratif. Pada Undang-Undang Pangan, sanksi pidana atau denda merupakan alternatif dengan pidana lebih dulu baru kemudian denda. Kedua sanksi diatur dalam pasal yang sama, tanpa pemisahan ayat. Dalam omnibus law, kedua sanksi dipisah dalam ayat berbeda dengan sanksi administratif sebagai prioritas. Sanksi pidana baru berlaku apabila sanksi administratif tidak diindahkan oleh pelaku. Ini berlaku dalam hal penimbunan, perdagangan pangan olahan, sanitasi pangan, dan izin usaha yang berkaitan dengan pangan olahan. Bahkan sanksi bagi yang mengimpor saat pangan cukup juga dihapuskan.

Ketiga, perubahan paling penting adalah menempatkan impor pangan sebagai prioritas utama. Dalam Undang-Undang Pangan, ketersediaan pangan dimaknai sebagai kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, impor pangan ditempatkan setara atau sejajar dengan produksi dalam negeri dan cadangan pangan. Perubahan ini kemudian diturunkan dalam pasal-pasal operasional terkait dengan tata kelola impor pangan.

Advertising
Advertising

Selain itu, omnnibus law menghilangkan impor pangan sebagai jalan terakhir untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan. Hal ini bisa dilihat dari hilangnya klausul “pemerintah mengutamakan produksi pangan dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan” dan ditiadakannya pengaturan waktu impor terkait dengan panen. Syarat bahwa impor hanya dapat dilakukan apabila produksi dan/atau cadangan pangan nasional tidak mencukupi atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri juga lenyap. Terakhir, keharusan pemerintah menetapkan kebijakan impor tak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan petani, nelayan, pembudi daya ikan, serta pelaku usaha pangan mikro dan kecil diubah hanya menjadi untuk keberlanjutan usaha tani.

Orientasi baru ini dengan sendirinya mengubah paradigma pemerintah mengenai impor pangan dalam pemenuhan pangan dalam negeri. Jika semula sebagai pelengkap, impor pangan kini menempati posisi amat penting. Impor (juga ekspor) pangan merupakan kegiatan ekonomi yang lumrah. Impor pangan menjadi krusial karena berkaitan dengan produk pertanian domestik. Masalah muncul karena impor terjadi tidak selalu karena ada kebutuhan.

Impor juga menjadi krusial karena dilakukan tanpa menimbang nasib petani domestik. Impor sering dikaitkan dengan daya saing. Padahal daya saing tak berdiri sendiri, melainkan hasil resultante kebijakan domestik dan negara lain. Implikasinya, kita tidak bisa melihat persoalan daya saing produk pertanian domestik tanpa memeriksa kebijakan negara lain. Ditilik dari keharusan menjamin hak hidup petani, impor menjadi hal fundamental. Menurut konstitusi, warga negara dijamin untuk memperoleh pekerjaan layak sesuai dengan kemanusiaan, dan fakir miskin dipelihara negara. Artinya, negara wajib melindungi hak hidup petani. Karena itu, kebijakan apa pun, termasuk impor, tak boleh mensubordinasi hak hidup petani.

Lebih dari itu, melakukan impor pangan dari luar negeri meskipun harganya lebih murah atau membeli produk petani domestik yang akan menimbulkan dampak sosial berbeda. Impor pangan akan menimbulkan efek berantai di luar negeri. Sebaliknya, jika membeli pangan domestik, meskipun lebih mahal, akan menciptakan efek berantai di dalam negeri. Efek berantai itu berbentuk konsumsi, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Inilah bedanya efisiensi komersial dan efisiensi sosial. Jadi, apabila hak hidup petani menjadi dasar dalam melihat impor, yang sebenarnya dibangun bukan hanya ketergantungan pangan, tapi juga penciptaan lapangan kerja dan usaha bagi sebagian besar petani, mayoritas warga di negeri ini. Ironisnya, lapangan kerja dan usaha itu kini terancam oleh Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

4 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

14 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

42 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya