Lockdown dan Urgensi Peraturan Pemerintah

Selasa, 31 Maret 2020 06:35 WIB

Warga melintas di dekat akses masuk kampung yang ditutup di kawasan Pakem, Sleman, D.I Yogyakarta, Jumat, 27 Maret 2020. Sejumlah kampung di Kecamatan Pakem, Sleman menutup sejumlah akses masuk kampung dengan bambu yang diberi tulisan "lockdown" sebagai upaya antisipasi penyebaran Covid-19. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko

Fahmi Ramadhan Firdaus
Mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Penyebaran virus corona atau Covid-19 yang masif dan sulit dideteksi membuat pemerintah benar-benar bekerja keras mengatasinya. Sejauh ini, kebijakan untuk mengatasi wabah adalah melakukan rapid test dan pembatasan fisik (physical distancing).

Presiden mengimbau agar aktivitas beribadah, belajar, dan bekerja dilakukan di rumah. Namun imbauan ini tidak begitu saja dapat dilaksanakan semua orang, khususnya yang bekerja di sektor swasta dan harus tetap masuk atau yang bekerja di lapangan. Bukan tidak mungkin Covid-19 akan terus menular karena pembatasan fisik yang masih belum efektif diterapkan.

Sebagai skenario terburuk, banyak pakar menyarankan agar pemerintah melakukan lockdown (penutupan wilayah). Beberapa daerah sempat menimbang opsi tersebut, tapi Presiden menegaskan bahwa kewenangan lockdown mutlak menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Lockdown merupakan situasi yang melarang warga keluar-masuk suatu tempat karena kondisi darurat. Hal itu juga bisa berarti negara yang menutup perbatasannya agar tidak ada orang yang masuk atau keluar dari wilayahnya. Istilah “lockdown” memang belum umum di Indonesia, tapi maknanya hampir sama dengan “karantina wilayah” dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.

Advertising
Advertising

Kata “karantina” diambil dari bahasa Italia, “quaranta giorni”, yang berarti 40 hari. Istilah ini pertama kali muncul pada abad ke-14 ketika wabah bubonik mengganas dan menelan korban hampir sepertiga hingga dua pertiga penduduk Eropa. Untuk mencegah penyebaran penyakit itu, sistem karantina digunakan. Mekanismenya, kapal-kapal yang datang dari wilayah lain dilarang langsung bersandar menurunkan penumpang. Mereka wajib menunggu selama 40 hari di suatu pulau tertentu untuk memastikan penumpang atau awaknya tidak tertular penyakit. Selama masa karantina, kapal-kapal tersebut wajib mengibarkan sanitaria bandiera atau bendera kesehatan berwarna kuning.

Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan menggariskan bahwa pemerintah pusat dapat menetapkan karantina wilayah. Untuk melakukannya, harus ada konfirmasi laboratorium bahwa sudah terjadi penyebaran penyakit di masyarakat di wilayah tersebut. Perlu ditegaskan bahwa selama masa karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat lewat koordinasi dengan pemerintah daerah.

Namun, secara teknis, karantina wilayah akan sulit dilaksanakan karena sampai saat ini belum ada peraturan pelaksana dalam bentuk peraturan pemerintah sebagaimana diamanatkan undang-undang. Maka, opsi lockdown atau karantina wilayah kemungkinan kecil dipilih guna menangani wabah Covid-19. Peraturan pemerintah itu merupakan peraturan delegasi dari undang-undang yang perlu waktu tidak sebentar dalam pembentukannya. Belum lagi jika peraturan pemerintah tersebut memerintahkan pembentukan peraturan presiden atau peraturan menteri untuk melaksanakannya.

Selain itu, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) dianggap menjadi opsi. Namun, pertanyaannya, seberapa besar urgensi perpu? Perpu merupakan kewenangan spesial presiden dan merupakan barang mahal yang perlu pertimbangan matang dalam menggunakannya. Menurut konstitusi, dalam kegentingan yang memaksa, presiden berhak menerbitkannya. Lantas apakah penyebaran wabah Covid-19 merupakan kondisi kegentingan yang memaksa sehingga penanganannya harus melalui perpu?

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 menafsirkan kondisi kegentingan yang memaksa sebagai (a) kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; (b) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tapi tidak memadai, dan (c) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Jika merujuk pada penafsiran tersebut, sesungguhnya perpu tidak diperlukan karena tidak terjadi kekosongan hukum. Instrumen hukum mengenai penanganan wabah Covid-19 sesungguhnya sudah ada, seperti Undang-Undang Wabah Penyakit dan Menular, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, dan Undang-Undang Penanggulangan Bencana.

Tanggung jawab penuh kini ada pada negara untuk melindungi masyarakatnya, sebagaimana Cicero pernah mengatakan: “Salus populi suprema lex esto”, yang berarti keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Yang harus dilakukan pemerintah pusat dan daerah adalah memaksimalkan peraturan perundang-undangan untuk menangani wabah ini. Adapun masyarakat harus percaya penuh kepada pemerintah agar ada sinergi dan solidaritas yang terbangun.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

9 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

38 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya