Entah

Senin, 9 Maret 2020 11:20 WIB

Mungkin seseorang perlu membuat sejarah “Entah”. Kata ini berpusar, tak jarang dalam bisik-bisik, tiap kali manusia merasa terasing dari dunia-ketika datang Maut, Kelaparan, Perang, dan Sampar, “Empat penunggang Kuda Malapetaka”.

Penyakit yang kini berjangkit dari tempat ke tempat jauh berbeda skala dengan wabah-wabah di zaman dahulu, tapi kembali Entah menyembul ke depan. Mari kita tengok: catatan Marchionne di Coppo Stefani tentang wabah pes dahsyat yang menyerang Firenze di tahun 1348 adalah ungkapan Entah yang menggores.

Wabah itu demikian ganas dan cepat hingga di rumah-rumah yang terkena, para pelayan yang melayani si sakit meninggal oleh penyakit yang sama. Hampir semua yang terserang mati dalam waktu kurang dari empat hari. Baik tabib maupun pengobatan tak berpengaruh. Tampaknya tak ada cara menyembuhkan, entah karena penyakit ini sebelumnya tak dikenal, entah karena para tabib belum pernah menelaahnya....

Di hari-hari yang menakutkan itu, wabah membinasakan Eropa, dan ketika Entah berkecamuk, orang-orang menghentikannya dengan kesimpulan mengerikan: Stop Entah. Sudah ditemukan jawabnya: pembawa sampar adalah orang Yahudi!

Orang Yahudi, demikian didesas-desuskan, menyebarkan racun dari jeroan katak yang dicampur dengan minyak dan keju. Orang-orang Kristen meyakini “penjelasan” itu. Meskipun Paus melarang kekerasan, pada 14 Februari 1349 di Kota Strasbourg, 2.000 orang Yahudi ditelanjangi dan dibantai. Di Mainz, 3.000 orang. Tapi Entah tetap kembali dan tetap dicoba dibungkam dengan pelbagai cara.

Advertising
Advertising

Sampai datang zaman modern, ketika Entah mulai tampak terdesak. Ia yang menyebabkan rasa takut tak menentu mulai diganti. Rasa cemas mulai punya penjelasan. Dongeng ditinggalkan, takhayul tersingkir. Demikianlah semangat Aufklärung menyimpulkan: manusia mampu dan harus berani membebaskan dari apa yang dinamai Kant sebagai “selbstverschuldeten Unmündigkeit”, ketidakdewasaan yang ditumbuhkan diri sendiri. “Unmündigkeit” ditandai ketidakberanian menggunakan akal, intelek, dan kearifan sendiri. Orang tak dewasa karena selalu butuh dibimbing tatanan sosial, agama, dan penguasa. Orang tak dewasa karena ia tak mencari jalan sendiri untuk membereskan Entah.

Sejak “abad panjang ke-18”, Eropa memulai semangat Pencerahan ini, yang juga disebut “Zaman Nalar”, Age of Reason.

Tak berarti hanya bangsa-bangsa di sekitar Jerman, Prancis, Inggris yang memulai itu, dengan melaksanakan Sapere Aude! (Beranilah untuk Mengetahui!) dan meletakkan nalar di posisi penting dalam hidup mereka. Orang Yunani sebelum tarikh Masehi dan para ilmuwan di dunia Islam di abad ke-8 sudah lebih dulu merintis jalan melepaskan diri dari Entah-juga tentang wabah. Al-Majusi (933-1000), misalnya, menggambarkan wabah dalam Kitab al-Malaiyy. Ia melihat sebab wabah dari “udara yang berpenyakit” (hawawab’i)-bukan dari konspirasi Iblis atau Yahudi.

Kemampuan analisis tentang sebab dan akibat-yang merupakan kemampuan nalar penting untuk menghadapi Entah. Manusia bergerak maju dari ketidaktahuan. Yang tak diketahui berubah menjadi sekadar problem: sesuatu yang dilemparkan ke depan manusia untuk dipecahkan dan diterobos.

Tapi tak selamanya berhasil, tak selamanya bertahan dan tak selamanya membuat hidup lebih baik. Nalar, “reason”, berkembang memecahkan problem. Problem bukan hanya transformasi dari Entah, melainkan mempersempitnya, sebagaimana akal adalah perubahan yang membuat kapasitas nalar jadi seperti sinar laser: terang, kuat, efisien-tapi sempit. Ia menguasai yang-Lain, apa yang bukan dirinya.

Dunia modern dan akal adalah kehidupan ketika pelbagai hal diubah jadi hitungan. Dengan itu didapatkan cara paling efektif mencapai tujuan. Dan dengan itu pula kemampuan dapat dihimpun secara progresif, makin lama makin bertambah. Modal, teknologi, kekuatan militer, kekuasaan politik.

Bukan kebetulan bila sejak saat Kant menyambut Pencerahan di Eropa, dari Eropa pula bangun imperialisme yang menindas bangsa-bangsa lain-yang oleh Kant tak dimasukkan ke hitungan. Di situ tak diakui bahwa setelah akal berkuasa, akal tak lagi sadar bahwa ada yang tak dapat dijangkaunya. Ada Entah yang diabaikan.

Hegel yakin mendekati ketakaburan bahwa yang rasional bertaut dengan yang wirklich, yang secara aktual ada. Ia yakin semua realitas dapat dinyatakan dalam kategori-kategori rasional. Ketika Hegel mengatakan bahwa Negara harus diperlakukan sebagai “struktur arsitektonis yang perkasa”, sebagai “hieroglif nalar”, ia melupakan bahwa ada Entah yang tak bisa diidentifikasi Negara.

Dalam konstelasi politik, Entah itu adalah mereka yang tak masuk hitungan. Ada “salah hitung”, yang oleh Rancière disebut le tort. Mereka yang di luar pagar itu-pagar bangunan Negara, pagar bangunan ilmu pengetahuan-bisa menunjukkan ada selalu yang tersisa dari yang direngkuh akal.

Dengan kata lain, sejarah Entah belum berakhir. Di wabah abad ke-14 kita mendengarnya dari catatan Marchionne di Coppo Stefani. Di abad ke-21 kita menyaksikannya dari kenyataan bahwa belum juga ada solusi untuk mencegah penyakit baru, konflik baru, ketidakadilan baru.

Ilmu dan agama memang mengklaim, “Akulah jawabannya.” Tapi mereka lupa apa pertanyaannya. Mereka lupa Entah.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

4 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

14 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

43 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya