Ketika Negara Hendak Masuk Keluarga

Penulis

Kamis, 27 Februari 2020 07:00 WIB

ANGGOTA Dewan Perwakilan Rakyat kita sungguh lucu. Demi "meningkatkan ketahanan keluarga", lima politikus dari empat partai mengajukan rancangan undang-undang. Ketika pasal di dalamnya memantik kontroversi, satu anggota di antaranya menyatakan belum membaca rancangan itu.

Namanya Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga. Pengusungnya Ledia Hanifa Amaliah dan Netty Prasetiyani dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Sodik Mudjahid dari Fraksi Partai Gerindra, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, serta Ali Taher dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Rancangan itu merupakan satu dari 50 program legislasi nasional tahun ini.

Pasal-pasal di dalamnya bisa membuat masyarakat geleng-geleng kepala. Rancangan undang-undang ini memungkinkan negara masuk terlalu jauh mengurus rumah tangga penduduk. Beberapa pasal bahkan membuat negara bisa menjadi tukang intip karena mengatur urusan ranjang pasangan suami-istri.

Intervensi negara ke kehidupan pribadi tercantum pula pada pasal yang mengatur kewajiban suami dan istri dalam keluarga. Pasal 24 dan 25 menyebutkan suami bertugas sebagai kepala keluarga, sedangkan istri mengurus rumah tangga. Negara tak punya hak mengatur urusan seperti ini.

Rancangan undang-undang ini sangat patriarkis, mengabaikan prinsip kesetaraan gender. Pasal yang mengatur keharusan istri mengurus rumah tangga akan membatasi kiprah perempuan dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik. Padahal perempuan dan laki-laki punya hak setara untuk berbagi dan bertukar peran dalam urusan domestik, seperti halnya dalam pelbagai bidang kehidupan di luar rumah tangga.

Advertising
Advertising

Konsep rancangan ini sangat ketinggalan zaman karena hendak mengatur urusan keluarga yang secara sosiologis telah berubah. Pandangan bahwa laki-laki pencari nafkah utama sudah usang. Kini perempuan lebih mandiri dengan bekerja di sektor publik.

Rancangan undang-undang ini juga diskriminatif terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender alias LGBT. Di situ disebutkan bahwa LGBT merupakan penyimpangan seksual dan, karena itu, diwajibkan melapor dan menjalani rehabilitasi. Aturan ini akan melanggengkan stigmatisasi, yang membuat kelompok tersebut kerap menjadi korban diskriminasi.

Para pembuat undang-undang seharusnya tak memasukkan pandangan agama ke produk undang-undang. Sebab, pandangan agama bisa menumbuhkan benih diskriminasi dan mengabaikan kesetaraan warga negara di depan hukum. Anggota DPR tak semestinya mengubah Indonesia menjadi negara yang berdasarkan agama.

Tekanan publik diperlukan untuk mencegah pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang ini. Tekanan ini telah membuat Fraksi Partai Golkar balik kanan. Golkar mengklaim anggotanya yang menjadi pengusung bahkan belum membaca seluruh bagian rancangan itu.

Fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat sudah semestinya mencabut rancangan undang-undang itu. Mereka seharusnya lebih berfokus pada hal-hal yang jauh lebih penting. Misalnya segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, yang merupakan tunggakan Dewan periode 2014-2019. Pemerintah pun tidak perlu mengirimkan wakilnya dalam pembahasan di Senayan-kecuali jika memang juga ingin menjadi pengintip kehidupan rumah tangga warga negaranya.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

5 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

34 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya