Sutawijaya

Senin, 17 Februari 2020 11:40 WIB

Di malam hari, dulu, saya dengarkan dongeng ibu, yang mengharapkan anaknya tidur. Ia tahu tidur adalah investasi bagi besok yang segar. Di abad ke-20, dongeng sudah menjadi "teknologi".

Jika seorang ibu menembangkan fragmen Wedhatama yang mengagungkan sosok Panembahan Senapati, sebenarnya ia menggunakan fiksi itu untuk memproduksi masa nanti, agar si anak jadi hebat:

Nuladha laku utama
Tumraping wong Tanah Jawi
Wong agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senapati

Jika si anak belum kenal sejarah Mataram abad ke-14 (yang dalam puisi itu disebut "Ngeksiganda"), itu tak penting. Yang penting: ada seorang "agung" yang menurut orang-orang tua Jawa pantas ditauladani.

Tiap hagiografi-bukan biografi-adalah "teknologi" setengah lupa. Dalam hagiografi seseorang dijunjung tinggi dan dipisahkan dari tanah, kecoa, dan isi perutnya. Maka siapa "Panembahan Senapati"? Jawab Wedhatama: seseorang yang dahsyat. Ia sanggup mengurangi hawa nafsu, gemar mencari sunyi, bersemadi, hingga akhirnya, di tepi samudra, kesaktian memenuhi dirinya. Bahkan ia bisa menghimpunnya dalam sekali genggam, rinegan segegem dadi. Dan ia pun mampu menguasai alam, termasuk Ratu Kidul yang gaib dari Laut Selatan.

Dongeng ini disusun dengan petuah yang klasik: seseorang akan berhasil jika bisa mendisiplinkan kesadaran dan tubuhnya. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.... Dalam Wedhatama, Senapati akhirnya menjadi subyek yang berhasil menaklukkan sekaligus tubuhnya sendiri, alam, dan misterinya. "Aku berkuasa, angratoni, atas yang Bukan-Aku."

Advertising
Advertising

Dan begitulah cerita "peradaban". Begitu pula datangnya dunia modern. Yang menarik, dalam karya sastra yang dianggap "tradisional" ini, pertapaan dan meditasi bukan dijalani sebagai momen "mimetik" dengan lingkungannya-bukan "bentuk cinta yang awal", der Urform von Liebe, dengan alam seperti kata Adorno dalam Minima Moralia. Bertapa adalah persiapan penaklukan. Alam itu lawan.

Saya ingat Odisseus dalam puisi Homeros.

Odisseus, Raja Ithaca, berlayar pulang dari Perang Troya. Pada suatu hari, kapalnya melewati sebuah pulau di mana terdengar nyanyian Siren, makhluk setengah burung setengah perempuan. Orang tahu, suara ajaib mereka biasa merayu para pelaut agar turun bergabung dengan makhluk alam itu dan tak mau pulang. Tapi Odisseus siap. Ia perintahkan para awak kapal menutup rapat-rapat kuping, sementara ia sendiri-yang ingin menikmati nyanyian Siren-minta diikat erat ke tiang pokok. Itulah strateginya: bila nanti mendengar nyanyian itu dan tergoda, ia akan tetap berada di kapal.

Odisseus berhasil. Ia mengkalkulasi kemungkinan dengan cerdik. Dalam Dialektika Pencerahan (Dialektik der Aufklärung), Adorno dan Horkheimer-dua pemikir Jerman yang setelah Perang Dunia I melihat kapitalisme membawa "hidup yang cedera"-mengurai sumber kecerdikan Odisseus: orang Ithaca ini menggunakan ketajaman akal instrumental, akal manusia yang terarah untuk mendapatkan hasil dengan efisien. Odisseus, yang lama berpisah dari istri dan istananya, sukses, dengan menaklukkan tubuhnya: mengikatkan diri di tiang kapal. Ia juga berhasil karena ia, penguasa kapal, mendominasi orang lain; ia melarang kelasinya menikmati nyanyian Siren. Dan ia menang atas alam yang hidup, Siren.

Dalam gambaran ini, Odisseus mirip seorang pebisnis dalam masyarakat borjuis: ia maju dengan risiko yang diperhitungkan, menahan diri dan mengontrol tubuhnya, seraya tetap mencicipi kenikmatan. Odisseus "menuruti asas kuno yang mendasari masyarakat borjuis", tulis Adorno dan Horkheimer: ia harus cerdik, atau habis.

Mungkin demikian juga Senapati.

Ia, yang lahir dengan nama Danang Sutawijaya, datang dari keluarga petani biasa. Ayahnya: Pemanahan, ibunya: Mbok Sabinah. Nasibnya berubah setelah si ayah meminum air kelapa yang bukan miliknya tanpa izin-air kelapa yang, kata sahibulhikayat, punya daya ajaib.

Pemuda Sutawijaya ambisius, energetik, cerdik. Dalam cerita rakyat Jawa Tengah dikisahkan bagaimana di tahun 1549 ia menghadapi Ario Penangsang, Bupati Jipang yang tak mau tunduk kepada Sultan Hadiwijaya. Sutawijaya sengaja naik kuda betina yang cantik. Kuda Penangsang pun jadi berahi. Ia tak bisa dikendalikan dan menyeberangi sungai yang memisahkan kedua pasukan. Dalam keadaan itu, Sutawijaya menyerang. Ia tusuk sang Bupati Jipang pada perut. Ususnya keluar. Penangsang, yang mudah diprovokasi, langsung mencabut kerisnya. Ujung senjata berbisa itu mengerat ususnya yang terburai. Ia mati.

Akal instrumental berhasil....

Sutawijaya kemudian menyebut diri Panembahan Senapati. Mataram berdiri, ekspansif, lebih "maju" ketimbang kerajaan-kerajaan Jawa masa lalu. Tapi "kemajuan" itu masih terbatas. Ketika raja-rajanya harus menghadapi kompeni dagang Belanda, yang lebih modern dalam dana dan senjata, Mataram kalah.

Kenapa sisi kekuatan Mataram yang konon magis tak efektif? Mungkin karena di zamannya, hal-hal yang magis-diwakili Ratu Kidul yang misterius-sudah tak berwibawa lagi. Entzauberung, kata Max Weber tentang modernitas, hilangnya yang "magis" dari kehidupan. Panembahan Senapati telah mengalahkannya. Dan justru dengan itu Mataramnya akhirnya merorot.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

2 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

11 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

40 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya