Mudarat Sistem Kuota Impor

Penulis

Senin, 10 Februari 2020 12:00 WIB

Sekarung bawang putih yang diimpor dari Cina di Pasar Kramat Jati, Jakarta, Kamis, 6 Februari 2020. Bawang putih yang ada di pasaran merupakan stok lama sebelum pembatasan impor. Tempo/Tony Hartawan

TEMUAN Tempo dalam investigasi impor bawang putih membuktikan sistem kuota impor komoditas tak layak diteruskan. Sistem ini membuka peluang korupsi dan menjadi bancakan para pemburu rente. Ujung-ujungnya yang rugi adalah konsumen dan orang banyak. Dengan sistem kuota, komoditas impor dikuasai segelintir orang yang bisa menimbun dan menggelontorkannya ke pasar sesuka hati.

Kekeliruan ini berawal dari kesalahan konsep yang mendasar. Pada 2017, ketika Menteri Pertanian dijabat Amran Sulaiman, pemerintah mencanangkan swasembada untuk semua jenis pangan strategis: dari gula, bawang putih, hingga kedelai. Angan-angan muskil itu hendak diwujudkan dengan strategi yang kontraproduktif: melibatkan para pengusaha sebagai importir sekaligus petani.

Sejak itulah para pengusaha didorong menanam komoditas dengan iming-iming mendapatkan kuota impor selama produksi dalam negeri belum menutup jumlah konsumsi. Setiap tahun, Indonesia membutuhkan rata-rata 500 ribu ton bawang putih karena produksi lokal hanya tersedia 4 persen. Bawang putih adalah tanaman subtropis yang susah tumbuh di iklim tropis Indonesia.

Menteri Amran menetapkan swasembada kudu tercapai pada 2021. Selama empat tahun, para importir dikenai wajib tanam seluas 5 persen dari kuota impor yang mereka ajukan dikali produktivitas lahan yang ditetapkan 6 ton per hektare. Karena tak punya lahan, para importir diizinkan menggandeng petani untuk menanam bawang putih di lahan yang mereka punya.

Dari cara ini saja sudah terlihat peluang akal-akalan. Para importir tentu tak akan peduli bawang yang mereka tanam tumbuh atau puso karena motif mereka sekadar mendapatkan kuota impor demi memperoleh untung sebesar mungkin. Perhitungan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan menyebutkan keuntungan mengimpor bawang dari Cina pada 2018 sebesar Rp 8,4 triliun.

Advertising
Advertising

Hitung-hitungannya sederhana. Satu kilogram bawang putih di Cina mereka beli Rp 7.200, lalu dijual di Indonesia Rp 26.600. Margin besar itu adalah angka minimal ketika harga bawang di dalam negeri sedang normal. Untung makin berlipat ketika harganya naik akibat pasokannya seret, seperti terjadi sejak awal Januari 2020 yang membuat harga bawang tembus Rp 46 ribu.

Dengan margin rata-rata Rp 20 ribu saja pengusaha yang mendapatkan kuota mengimpor 10 ribu ton bawang akan memperoleh untung Rp 200 miliar. Iming-iming keuntungan luar biasa besar membuat peluang korupsi pun muncul. Sejumlah importir mengaku diminta menyetor Rp 1.500-3.000 per kilogram bawang yang mereka impor untuk mendapatkan surat persetujuan impor dari Menteri Perdagangan sebelumnya, Enggartiasto Lukita.

Di lapangan, wajib tanam juga tak mulus. Kementerian Pertanian mencatat hampir separuh importir, dari 75-85 perusahaan per tahun, gagal memenuhi kewajiban menanam bawang. Bagi mereka yang gagal, Kementerian mencoret nama perusahaannya dari daftar calon penerima kuota tahun berikutnya. Nyatanya, sanksi itu bisa diakali importir dengan cara mengganti nama perusahaan. Korupsi dan pengawasan yang payah membuat siasat itu seolah-olah tak bisa dideteksi.

Walhasil, swasembada bawang putih gagal, bancakan pemburu rente tetap berjalan. Dalam rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat pada 20 Januari 2020, para importir bawang putih berterus terang tak sanggup membudidayakan komoditas ini. Selain mereka tak punya pengalaman bertani, bawang putih kurang cocok ditanam di suhu tropis Indonesia.

Dari kejadian ini, seharusnya pemerintah sadar swasembada komoditas yang tak cocok dengan iklim Indonesia hanya mendatangkan mudarat. Membagi impor dengan sistem kuota tak kalah mudarat karena menciptakan state capture corruption, korupsi yang diberi jalan oleh kebijakan melalui aturan.

Pemerintah Indonesia tak perlu mengejar ilusi swasembada untuk komoditas-komoditas yang tak bisa ditanam di Indonesia. Impor bukan aib. Sepanjang dibuka sesuai dengan kebutuhan, berdasarkan mekanisme pasar yang sehat, impor tak perlu membuat alergi. Pengusaha akan berhitung sendiri jumlah bawang yang mereka datangkan, disesuaikan dengan permintaan dan kemampuan pasar. Pemerintah hanya perlu mengawasi produknya agar tak membahayakan ketika dikonsumsi.

Sumber daya pemerintah sebaiknya dipakai untuk berfokus menggarap sektor unggulan pertanian kita. Banyak komoditas pangan yang bisa dibudidayakan untuk ekspor ke pasar internasional. Sementara itu, kebutuhan pangan dalam negeri bisa dipenuhi dengan kombinasi impor dan hasil produksi sendiri.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya