Merumuskan Kembali Desain Pemilu Kita

Penulis

Bawono Kumoro

Rabu, 8 Januari 2020 08:12 WIB

Suasana rapat dalam Badan Legislasi DPR bersama dengan perwakilan pemerintah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin terkait revisi UU KPK, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Selatan, Senin 15 September 2019. Tempo/Dias Prasongko

Bawono Kumoro
Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan The Habibie Center

Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah telah bersepakat memasukkan 50 rancangan undang-undang ke agenda Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Ini termasuk revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Undang-Undang Pemilu merupakan landasan hukum bagi dasar pelaksanaan pemilu serentak pada 17 April lalu. Keserentakan pelaksanaan pemilu itu merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi, yang menilai norma pelaksanaan pemilihan presiden setelah pemilihan legislatif tidak sesuai dengan semangat konstitusi.

Namun pemilu tahun lalu menghadirkan berbagai kerumitan dan persoalan tidak terduga. Ratusan anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di berbagai daerah meninggal dunia karena kelelahan. Pemilih juga kebingungan ketika harus mencoblos lima kertas suara. Kebingungan itu tecermin dari jumlah suara tidak sah yang mencapai 3,75 juta lebih dalam pemilihan presiden dan 17,5 juta lebih dalam pemilu legislatif.

Hal tersebut memicu rencana memisahkan kembali pelaksanaan pemilihan presiden dan pemilu legislatif. Apakah kembali memisahkannya merupakan jalan keluar terbaik atau ada pilihan lain yang lebih ideal?

Advertising
Advertising

Memisahkan kembali pemilihan presiden dan pemilu legislatif mengabaikan kemungkinan terciptanya pemerintahan terbelah. Pemerintahan terbelah adalah sebuah kondisi politik ketika pejabat eksekutif terpilih tidak memperoleh dukungan politik yang memadai di legislatif karena kekuatan politik yang berkuasa di lembaga eksekutif berasal dari partai berbeda (Cheibub, 2007). Dalam kondisi seperti itu, setiap rancangan kebijakan atau undang-undang dari lembaga eksekutif cenderung akan memperoleh penolakan dari parlemen.

Semangat utama dari pemilu secara serentak adalah menciptakan pemerintahan yang kongruen, yakni pejabat eksekutif terpilih mendapat dukungan politik memadai di lembaga legislatif, sehingga tercipta pemerintahan presidensial yang solid dan efektif. Pemilu serentak pada 17 April lalu adalah contohnya. Partai-partai yang berkuasa di DPR merupakan partai koalisi pendukung pasangan calon presiden terpilih.

Bandingkan dengan pembentukan koalisi ketika pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden masih terpisah. Partai-partai menunggu hasil pemilu legislatif lebih dulu untuk membentuk koalisi menuju pemilihan presiden. Dengan jarak sekitar dua bulan antara pemilu legislatif dan pemilihan presiden, proses pembentukan koalisi cenderung rumit karena berlangsung secara bertahap. Tahap pertama koalisi adalah sebelum pemilihan presiden dilaksanakan. Adapun tahap kedua koalisi terjadi seusai pemilihan presiden. Terdapat partai di luar koalisi awal yang masuk sebagai anggota baru setelah pasangan calon presiden yang mereka usung kalah dalam pemilihan presiden dan tidak ingin menjalankan peran sebagai oposisi.

Proses seperti itu akan menciptakan koalisi pemerintahan yang cenderung rapuh dan tidak solid. Partai yang pertama kali bergabung merasa berhak mendapatkan porsi kursi di kabinet lebih besar. Sementara itu, partai lain, meskipun bergabung belakangan, juga merasa memiliki hak serupa. Apalagi bila partai tersebut memiliki kursi cukup dominan di parlemen. Perilaku politik seperti itu ditunjukkan oleh Partai Golkar pada periode pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Karena itu, memisahkan kembali pelaksanaan pemilihan presiden dan pemilu legislatif bukanlah pilihan bijak. Selain itu, pemisahan tersebut mengingkari putusan Mahkamah Konstitusi. Hal penting yang justru harus dipikirkan dan dilakukan oleh pemerintah dan DPR dalam merevisi Undang-Undang Pemilu adalah menciptakan sebuah desain pemilu yang memudahkan pemilih, peserta, dan penyelenggara pemilu sekaligus mengantisipasi kehadiran kembali pemerintahan terbelah.

Dalam konteks itulah gagasan untuk melaksanakan pemilu serentak berdasarkan level pemerintahan sangat penting untuk dipertimbangkan. Pemilu serentak yang dimaksudkan adalah pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah. Pemilu serentak nasional ditujukan untuk memilih presiden serta anggota DPR dan DPD. Adapun pemilu serentak daerah dilakukan untuk memilih kepala daerah serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksanaan keduanya tidak dilangsungkan pada tahun yang sama. Pemilu serentak daerah dilaksanakan dua hingga tiga tahun setelah pemilu serentak nasional.

Selain dapat menghindarkan dari pemerintahan terbelah, hal ini dapat menghadirkan sejumlah hal positif. Pertama, beban manajemen penyelenggaraan pemilu menjadi lebih proporsional dan tidak terjadi penumpukan beban berlebih sebagaimana pemilu pada 17 April lalu. Kedua, pemilih akan lebih mudah menentukan pilihan karena dihadapkan pada pilihan calon pejabat publik di level nasional saja atau di level daerah. Ketiga, isu-isu kampanye yang mengemuka dan menjadi pembahasan di ruang publik akan lebih terfokus. Saat pemilu serentak nasional, isu-isu nasional akan lebih mengemuka. Begitu pun ketika pemilu serentak daerah diselenggarakan, isu-isu daerah akan lebih mendominasi ruang publik.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

11 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

40 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya