Konflik Pecah di Tubuh Hanura

Jumat, 27 Desember 2019 07:00 WIB

Wiranto mundur sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Hanura, Rabu, 18 Desember 2019.

Umbu T.W. Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

Pada bibir pergantian tahun, lanskap politik kita kembali diwarnai konflik internal di Partai Hanura. Dua elitenya, Wiranto dan Oesman Sapta Odang atau OSO, tengah meradang. Kubu Wiranto menolak mengakui OSO sebagai Ketua Umum Hanura yang terpilih secara aklamasi dalam Musyawarah Nasional Hanura III, 18 Desember lalu. Wiranto juga menuduh OSO melanggar pakta integritas yang dibuat pada 2016. Tidak terima atas tuduhan tersebut, kubu OSO balik mengancam mempolisikan Wiranto atas pernyataannya yang mengaku-ngaku sebagai pengurus sah.

Sudah jatuh, masih tertimpa tangga pula. Begitulah nasib yang mendera partai ini yang dalam pemilihan umum 2019 gagal melenggang ke Senayan karena hanya mendulang 2,16 juta suara atau 1,54 persen, masih di bawah ambang batas parlemen yang sebesar 4 persen. Alih-alih memanaskan mesin politik untuk menyongsong pemilihan kepala daerah serentak 2020, Hanura malah terpanggang panasnya egosentrisme dan intensi keras kekuasaan para elitenya. Jika situasi ini terus dibiarkan, momentum konsolidasi politik Hanura akan sirna, bahkan bisa menjurus ke faksionalisasi yang berpengaruh pada spektrum politik nasional.

Habitus menjaga sakralitas posisi dan kedudukan, melebihi fungsi sebagai elite atau pemimpin yang subtil, merupakan penyelewengan etika khas dunia perpolitikan kita. Sayangnya, itu tidak pernah sungguh-sungguh dilihat sebagai abnormalitas politik yang mesti dihindari jauh-jauh. Dalam Outline of a Theory of Practice, sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menjelaskan, habitus atau kebiasaan adalah struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial dan politik.

Dalam politik, intrik atau manuver untuk merebut dan mempertahankan kursi kekuasaan kerap menjadi habitus yang justru mendapat justifikasi dari banalitas kehidupan sosial. Seseorang mendapat ruang eksklusif dari masyarakat hanya karena jabatan dan pengaruh yang dimilikinya, meskipun untuk memperoleh keistimewaan tersebut, kerap digunakan cara-cara yang melukai adab dan etika.

Advertising
Advertising

Itu sebabnya betapa sudah menjadi hal yang jamak dalam dunia kekuasaan ketika pilihan sikap dan kebijakan para elite selalu menimbulkan efek yang memperkuat karakter independent maximizer atau mempertinggi nilainya sendiri di tengah-tengah masyarakat (Musser & Orke, 1992). Karakter tersebut berorientasi pada kekuasaan, ambisional, dan orientasi egoistik ketika hasil bagi diri sendiri dianggap sebagai sesuatu yang positif, sedangkan bagi orang lain negatif (Machiavellianisme).

Akibatnya, alih-alih kehadiran seorang politikus mampu memberikan kontribusi bagi institusionalisasi kompetensi etis dalam organisasi politik, yang terjadi justru sebaliknya: keberadaannya kian memperlebar ruang skeptisisme dan kecurigaan publik terhadap prospek moral dan demokratis sebuah partai politik.

Maraknya kasus-kasus korupsi serta kian masifnya perilaku dan gaya hidup mewah di kalangan elite politik dewasa ini setidaknya menunjukkan betapa lemahnya kesadaran dan kompetensi etis para elite partai dalam memaknai jabatan dan mengartikulasikan mandat rakyat yang mereka emban. Meskipun proses sirkulasi elite terus berlangsung secara gradual (setiap lima tahun), watak dan sikap elite tetap persisten dalam mentalitas ostentasialisme (suka pamer) dan tak peduli terhadap perasaan dan kepentingan publik. Bahkan, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, akar masalah korupsi di Republik ini sesungguhnya ada di partai politik.

Padahal, menurut Voltaire, istilah partai identik dengan nilai yang baik dan progresif (Sartory, 1976). Ini berbeda dengan makna "faksi" yang menjurus pada keburukan, yang karena itu dibenci sejak zaman Romawi hingga abad ke-19. Karena itu, dalam tradisi pemikiran politik Barat, istilah "faksi" merupakan sesuatu yang dikecualikan dari domain nilai-nilai etik kekuasaan dan kebaikan bersama karena sejatinya "faksi" adalah "sebuah partai yang suka memberontak dalam sebuah negara", sedangkan partai lebih dipakai untuk menunjukkan faksi-faksi yang tidak memberontak.

Sayangnya, semakin ke sini kita tidak melihat adanya upaya militan para politikus untuk mengakui sikap dan habitus etis politiknya. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia pada Agustus 2019 malah konsisten menetapkan partai sebagai institusi yang mendapat kepercayaan terendah dari masyarakat. Ini terjadi tidak hanya karena faktor politik uang dan budaya pragmatisme, tapi juga karena konflik internal partai yang tidak dikelola baik sehingga memantik kemarahan dan apatisme yang meluas dari publik.

Rakyat sebagai pemegang saham demokrasi tentu berharap konflik di lingkup internal Hanura segera "tutup buku" seiring dengan berakhirnya 2019. Para elite yang bertikai harus berani menurunkan egonya dan duduk semeja untuk menyelesaikan masalah partai secara bijak dan visioner. Kedua kubu selayaknya sama-sama mengedepankan "politik nilai" untuk mencapai "islah" yang terbaik bagi masa depan Hanura dan pembangunan demokrasi. "Politik nilai" akan mempengaruhi kecenderungan elite untuk mendukung satu tujuan bersama (soliditas dan perdamaian), melebihi faktor-faktor lain (gengsi, kehormatan, kekuasaan), termasuk menjadi alat evaluasi diri (Rokeah, 1973).

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

36 menit lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

9 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

38 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya