Fiksi

Senin, 2 Desember 2019 13:15 WIB

Identitas: sebuah fiksi. Ia fiksi yang dibentuk dari luar. Orang makin lama makin lupa itu. Bahkandengan menerjemahkannya jadi "jati diri"orang menganggap identitas tumbuh secara kodrati dari "dalam" dan sebab itu pas untuk mendeskripsikan apa dan siapa "aku", "engkau", atau "mereka"atau "Minang", "Bugis", "Indonesia", "Negro", "Cina"….

Orang umumnya lupa bahwa sebutan-sebutan itu sebenarnya diwujudkan sebagai kombinasi antara "seakan-akan" dan "seyogianya".

Dalam Wedhatama, misalnya. Kitab, yang di abad ke-19 digubah dan dipergunakan untuk mengajari para ningrat muda di Surakarta, itu menyebut "sarehne sira jawi", ("karena kau pemuda Jawa…"). Jelas, yang tersirat di sana adalah sebuah statemen normatif: "jawa" artinya suatu karakteristik yang seyogianya memenuhi suatu ukuran, dan pas dengan sebuah ide. Artinya, merupakan sesuatu yang ideal. Penggubah Wedhatama tak berbicara kepada anak muda sebagaimana yang tiap hari dilihatnya. Ia berbicara kepada anak-anak muda yang ia imajinasikan mengandung benih dari "apa-yang-seyogianya".

Lagi pula, apakah yang disebut "Jawa"? Dalam On the Subject of "Java" penelaah antropologi John Pemberton dengan hati-hati tapi tepat menuliskan Jawa dalam tanda kutip. Sebab "Jawa" berubah-ubah. Kata ini juga sebuah ajektif yang didasari sebuah citra yang disusun dalam sebuah wacana yang dimulai di pusat.

Wacana tentang apa itu "Jawa" berkembang (sampai hari ini) dari rumusan Mangkunegara VII di tahun 1932. Di masa itu pengaruh politik dan tata cara Belanda merasuk jauh ke dalam dunia Mangkunegaran; Baginda, misalnya, berbicara dalam bahasa Belanda yang fasih. Dalam posisi terpinggirkan, di hadapan orang-orang asing yang terkesima kepada yang eksotis, "Jawa" hendak ditampilkannya (agar diakui) sebagai sebuah "peradaban yang sangat tinggi", zeer hooge beschaving.

Advertising
Advertising

Maka tiap kali kita menyebut "orang Jawa" (atau juga "Indonesia", "Negro", "Cina", "Islam", "Hindu"), disertai "karakteristik"-nya, kita sebenarnya sedang menyadur idealisasi yang dibangun dan disebarkan dari sebuah "pusat".

Kwame Anthony Appiah menulis sebuah buku yang membahas hal ini dengan terang, As If: Idealization and Ideals.

Appiah mengembangkan apa yang dibahas Hans Vaihinger, seorang filosof Jerman yang dilupakan, yang hidup antara 1852 dan 1933. Vaihinger dikenal karena karyanya, Die Philosophie des Als Ob (1911). Penerus Kant ini menunjukkan bahwa kita tak mungkin mengetahui realitas yang sesungguhnya mendasari dunia dan segala anasirnya. Maka kita membangun satu sistem pikiran dan berasumsi bahwa sistem itu seakan-akan (als ob) cocok dengan model yang kita bangun.

Appiah orang yang tepat berbicara tentang itu. Seorang filosof gay yang berayah seorang tokoh politik Ghana dan beribu seorang aristokrat Inggris, ia peka akan salah sangka yang disebut "identitas". Dalam As If ia tunjukkan bahwa identitas dirumuskan demikian rupa hingga seakan-akan mengandung sifat-sifat yang stabil dan berdasar pada fakta. Tapi sebenarnya, "dalam jantung theoretis kita", kita tahu hal yang seperti itu tak pernah ada. Sifat-sifat itu hanya "idealisasi" atau sehimpun fiksi yang efektif. Seorang "Negro" atau "homoseksual", misalnya, dalam kenyataannya punya hal-hal yang sangat kompleks dalam dirinya, yang lebih majemuk ketimbang sebutan itu.

Mengidentifikasi adalah mengidealkan dan mereduksi.

Dilihat secara demikian, identitas menyingkirkan apa yang dianggap tak pantas masuk rumusannyamenyingkirkan yang berbeda, yang dianggap ganjil dari yang seyogianya. Dalam arti tertentu, identitas dibentuk dengan sejenis dominasi, bahkan kekerasan.

Ada cerita sedikit tentang kuncir.

Di Cina, di pertengahan abad ke-17 penguasa Manzu mengharuskan bangsa Han punya identitas baru: memakai gaya potongan rambut yang khaskepala nyaris botak dan di bagian belakang, di dekat kuduk, ada kuncir. Di tahun 1622, Maharaja Taizu dari Dinasti Qing menyerbu ke Selatan dan mengharuskan penduduk Jazirah Liaodong gundul dan memakai kuncir. Yang membantah dihukum mati.

Pada umumnya, orang Han menyerah. Mereka menjadikan kuncir identitas "Cina" selama bertahun-tahun. Tapi tak jarang mereka melawan. Di antara bangsa ini ada yang menyimpan diam-diam pilihan mereka untuk berambut gondrong, dan mereka angkat senjata. Seorang Eropa yang menyaksikan perang itu mencatat bahwa "para pembangkang [anti-kuncir] ini berperang mati-matian lebih demi rambut mereka ketimbang demi Raja dan Kerajaan".

Si Eropa salah: rambut dan identitas, seperti Raja dan Kerajaan, juga soal politiksebuah fiksi yang bisa membentuk harga diri sebuah kelompok. Pernah ada masanya "politik identitas" membantu pembebasan kaum perempuan dan memajukan kesetaraan bagi orang Hitam di Amerika. Tapi ada masanya juga ketika "politik identitas" menggerus, bahkan menghapus, kemerdekaan personal.

Pada akhirnya, "politik identitas", seperti "nasionalisme" berdasarkan identitas etnis di Serbia, adalah politik jalan buntu. Ketika menampik apa yang universal dalam sesama manusia, ia tak akan mampu mengimbau suara hati dari delapan penjuru. Ia tak punya perspektif yang oleh Appiah, dalam The Ethics of Identity, disebut "kosmopolitanisme".

Tapi tanpa kosmopolitanisme sekalipun manusia akan melihat: pertalian fiktif dalam identitas tak akan mempersatukan manusia ketika bumi, ruang hidup bersama ini, terancam hancur. Seperti sekarang.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

4 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

13 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

42 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya