Berkompromi dengan Korupsi

Penulis

Rabu, 27 November 2019 07:00 WIB

Presiden Joko Widodo alias Jokowi saat memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 22 November 2019. TEMPO/Subekti.

KEINGINAN Presiden Joko Widodo agar penegak hukum memberikan peringatan kepada pejabat yang berpotensi tersangkut rasuah amatlah janggal. Sikap ini tidak menggambarkan komitmen pemimpin yang ingin memerangi korupsi. Sistem peringatan akan mengundang kongkalikong yang justru menyuburkan kejahatan ini.

Presiden menyampaikan pernyataan itu di depan peserta Forum Komunikasi Pimpinan Daerah di Sentul, Bogor, Jawa Barat, pada 13 November lalu. Jokowi menegaskan pentingnya mengedepankan pencegahan daripada penindakan korupsi. Pencegahan yang dimaksud ialah menghentikan penangkapan para pejabat dan menggantinya dengan memberikan peringatan sebelum mereka melakukan korupsi.

Gagasan itu terlihat indah karena menghilangkan kegaduhan akibat penangkapan pejabat oleh penegak hukum. Kepala daerah pun tidak perlu digonta-ganti gara-gara kasus korupsi. Proyek pemerintah akan selalu berjalan lancar seperti di era Orde Baru. Saat itu, aktivis yang membongkar korupsi pejabat bahkan mudah dicap sebagai anti-pembangunan.

Masalahnya, sistem peringatan itu tidak akan menghapus korupsi sekaligus sulit diterapkan. Ambil contoh kasus Wali Kota Medan Tengku Dzulmi Eldin, yang ditangkap pada pertengahan Oktober lalu. Dzulmi diduga memerintahkan stafnya memungut duit dari kepala dinas buat menutupi biaya perjalanan ke Jepang. Bagaimana cara penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi mencegahnya?

Petugas KPK bisa saja memberikan peringatan kepada Dzulmi. Tapi hal yang sama harus dilakukan kepada ribuan pejabat di Indonesia yang setiap saat bisa melakukan korupsi. Penyidik KPK tentu akan kewalahan. Cara itu juga mengasumsikan bahwa pejabat kita amatlah bodoh, tidak bisa membedakan antara perbuatan legal dan tidak. Padahal sudah banyak sekali contoh korupsi yang dibeberkan KPK lewat berbagai kasus penangkapan.

Advertising
Advertising

Cara pencegahan ala Jokowi justru menyebabkan korupsi beranak-pinak. Pemerintah pun telah mencoba pendekatan itu lewat Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Instruksi ini kemudian diterjemahkan oleh Kejaksaan Agung dengan membentuk Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D). Tim ini bertugas mengawasi tender barang dan jasa.

Hasilnya? Penugasan jaksa malah menciptakan korupsi baru. Di Yogyakarta, misalnya, jaksa Eka Safitra ditangkap KPK pada Agustus lalu. Eka adalah anggota TP4D yang mengawasi proyek rehabilitasi drainase Kota Yogyakarta. Ia malah menerima suap untuk memuluskan sebuah perusahaan memenangi tender proyek tersebut.

KPK pun mengungkapkan keterlibatan tim kejaksaan mengawasi tender proyek menimbulkan banyak mudarat. Persekongkolan jaksa, pejabat, dan pengusaha malah terjadi di banyak daerah. Jangan heran jika kini Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan berencana menghapus tim pengawal tender tersebut.

Presiden Jokowi semestinya menyadari bahwa fungsi utama lembaga penegak hukum adalah memberantas kejahatan. Fungsi pencegahan dan sosialisasi hukum hanyalah pelengkap. Khusus untuk korupsi, banyak sekali lembaga yang terlibat pencegahan, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan serta Badan Pemeriksa Keuangan. Di hampir setiap kementerian juga ada inspektorat jenderal yang memiliki fungsi serupa.

Siasat pencegahan hanyalah menggambarkan sikap pemerintah yang terkesan mulai berkompromi dengan korupsi. Sikap ini bakal menimbulkan petaka lantaran pejabat dan politikus akan makin berani bermain kotor dan menilap uang negara.

Catatan:

Ini merupakan artikel majalah tempo edisi 25 November- 01 Desember 2019

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

7 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

36 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya