Mudarat Pilkada Lewat DPRD

Penulis

Ali Rifan

Selasa, 19 November 2019 08:00 WIB

Ilustrasi pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dok. TEMPO/Fully Syafi;

Ali Rif’an
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia

Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat. Pemicunya ialah penilaian soal mahalnya biaya pilkada langsung dan maraknya korupsi kepala daerah. Disebutkan, misalnya, calon kepala daerah tingkat bupati atau wali kota harus merogoh kocek sebesar Rp 15 miliar sampai Rp 20 miliar dalam pilkada langsung.

Akibatnya, begitu seorang calon kepala daerah terpilih, yang paling utama dipikirkan ialah bagaimana mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk mengembalikan modal saat pilkada. Korupsi kemudian menjadi jalan keluarnya. Inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk mengevaluasi pilkada langsung.

Memang, sistem pilkada langsung bukan tidak menyisakan persoalan. Persoalan pastinya ada sehingga evaluasi secara periodik perlu dilakukan. Namun mengevaluasi sistem pilkada langsung dengan mengembalikan ke sistem lama yang kental praktik oligarki tersebut merupakan cara berpikir yang melompat dan terlampau menyederhanakan persoalan.

Jika biaya tinggi dan maraknya korupsi dijadikan sebagai alasan dasarnya, yang perlu dievaluasi seharusnya dua hal. Pertama, sistem atau implementasi di lapangan. Misalnya melakukan kajian lebih detail soal penggunaan biaya tinggi pilkada langsung. Jika biaya tinggi digunakan untuk mahar politik atau politik uang, solusinya ialah penegakan hukum yang ketat.

Advertising
Advertising

Bila persoalannya terletak pada pembiayaan kampanye yang tinggi, perlu dibuat regulasi kampanye yang lebih murah, misalnya diperpendek rentang waktu kampanyenya dan dibatasi pemasangan iklan-iklan politik tertentu yang terlalu mahal. Artinya, pemerintah dan DPR seharusnya mencari jalan keluar bagaimana supaya pilkada langsung tidak berbiaya tinggi, bukan malah melempar wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah lewat DPRD.

Kedua, pembekalan untuk calon kepala daerah. Di sini, partai politik harus punya mekanisme yang ketat dalam menjaring calon kepada daerah. Pengkaderan berkualitas dan intensif, seperti melalui sekolah partai atau sekolah integritas, mutlak mesti diberikan kepada para calon kepala daerah. Artinya, persoalan korupsi perlu diselesaikan dari hulunya, bukan hanya dari hilirnya.

Dalam mengusung calon kepala daerah, partai tidak boleh hanya terjebak pada aspek elektabilitas dan "isi tas". Aspek integritas dan kapabilitas juga perlu menjadi alasan utama mengapa, misalnya, figur tertentu diusung partai politik. Melalui pengkaderan yang berkualitas dan intensif, partai punya matrik tentang kader mana yang layak diusung dan mana yang belum layak. Dengan mengusung kader berkualitas, diharapkan, selain dapat menghemat ongkos politik, calon juga mampu terhindar dari praktik korupsi.

Mengembalikan pilkada kepada DPRD tidak mendatangkan maslahat, melainkan malah lebih banyak mendatangkan mudarat. Selain membuat demokrasi berjalan mundur, hal itu punya ekses politik yang panjang sebagai berikut.

Pertama, jika langkah mengembalikan sistem pilkada lewat DPRD berhasil, tidak tertutup kemungkinan sistem pemilihan presiden secara langsung juga akan dievaluasi. Sebab, riak-riak adanya sebagian pihak yang ingin mengembalikan pemilihan presiden lewat MPR juga sempat mengemuka seiring dengan santernya rencana amendemen UUD 1945 dan menghidupkan kembali GBHN.

Kedua, tidak ada jaminan pilkada lewat DPRD dapat memangkas ongkos politik dan mencegah korupsi. Ketiga, sistem ini akan mengerdilkan partisipasi warga. Ini jelas kemunduran besar karena, menurut Robert A. Dahl (1985), salah satu ciri demokrasi sebagai sebuah ide politik modern ialah adanya kesamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat dan adanya partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif.

Pada prinsipnya, tujuan demokrasi dalam kehidupan bernegara meliputi kebebasan berpendapat dan kedaulatan rakyat. Esensi demokrasi ialah kedaulatan rakyat, yakni rakyat dilibatkan dalam proses pemerintahan, mulai dari pemilihan umum hingga memberi aspirasi ihwal kebijakan publik. Demokrasi ialah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Pemerintahan dari rakyat dapat dimaknai sebagai pemerintahan yang diakui dan mendapat pengakuan serta dukungan dari rakyat. Pemerintahan oleh rakyat berarti suatu pemerintahan yang menjalankan kekuasaan atas nama rakyat. Rakyat punya sistem pengawasan pemerintahan melalui dua jalur, yakni secara langsung (kontrol sosial) dan sistem perwakilan (melalui DPR).

Adapun pemerintahan untuk rakyat mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah dijalankan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau golongan.

Selain itu, sistem demokrasi bertujuan membatasi kekuasaan pemerintahan agar tidak menjadi diktator dan korup. Sebab, seperti kata Putnam (1976), salah satu penyakit orang yang sedang berkuasa adalah cenderung ingin melanggengkan kekuasaannya.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya