Melemahnya Infrastruktur Politik Kita

Penulis

Sulardi

Selasa, 5 November 2019 07:00 WIB

Presiden Jokowi melantik menteri-menteri anggota kabinet periode kedua pemerintahannya. Ia merangkul sebagian besar partai dan hanya menyisakan Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrat, serta Partai Amanat Nasional di luar pemerintahan. Kekuatan koalisi pemerintah menguasai tiga perempat jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat.

Sulardi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Di dunia perpolitikan, terdapat dua peran yang saling berperan, yakni suprastruktur politik dan infrastruktur politik. Keduanya bersinergi untuk menghasilkan produk-produk politik berupa kebijakan yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Namun di negara ini suprastruktur politiknya begitu kuat, tapi infrastruktur politiknya tak terbangun, bahkan terlupakan.

Suprastruktur politik merupakan lembaga-lembaga negara yang mempunyai kewenangan membuat kebijakan, juga melaksanakan dan memastikan kebijakan itu berjalan sesuai dengan tujuan. Adapun infrastruktur politik meliputi berbagai unsur kemasyarakatan yang memperjuangkan kepentingan masyarakat melalui peran masing-masing.

Keduanya berada di titik yang sama. Saat infrastruktur memberikan masukan berupa tuntutan dan kebutuhan masyarakat di berbagai sektor, hal itu kemudian dijawab pemerintah dengan kebijakan untuk memenuhi dan memudahkan terpenuhinya kebutuhan dan kondisi yang diinginkan masyarakat tadi. Di sinilah terjadi sinergi antara suprastruktur dan infrastruktur politik.

Infrastruktur politik meliputi media massa, tokoh politik, kelompok penekan, kelompok kepentingan, dan partai politik. Semuanya mempunyai peran masing-masing dalam menyuarakan hasrat arus bawah. Sayangnya, suara itu terdengar sayup-sayup, bahkan nyaris tak terdengar.

Advertising
Advertising

Sebagian besar media massa lebih banyak mengambil peran sebaliknya, yakni menyuarakan hal yang diinginkan pemerintah. Siapa yang berkuasa akan mendapat "penghargaan" luar biasa di media ataupun lingkungan. Peran kontrol media hanya diambil sedikit media massa yang masih punya idealisme untuk mencerdaskan para pembacanya. Justru media sosial kini mengambil peran yang amat besar. Banyak media massa kini mengambil peran sebagai corong pemerintah ketimbang menyuarakan jeritan, keluhan, dan derita masyarakat, lebih-lebih yang berada di pelosok. Masyarakat di daerah mendengar adanya "hantu radikalisme", tapi pemerintah tidak tahu bahwa sebagian masyarakat kini kesulitan air, makin sulit mencari kerja, serta hidup dalam kesusahan ketika harga kebutuhan melonjak, mengikuti irama naiknya iuran program Jaminan Kesehatan Nasional dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, tarif listrik, dan lain-lain.

Hanya sebagian kecil figur publik yang masih setia memberikan masukan kepada pemerintah melalui kritik dan masukan di bidang ekonomi, agama, politik, dan sebagainya. Sayangnya, respons terhadap masukan semacam ini dipandang sebelah mata. Bahkan bila pandangannya berbeda dengan apa yang dilakukan pemerintah, stempel nyinyir akan dilekatkan kepada mereka. Tidak sedikit figur publik terpukau oleh jabatan dan kekuasaan sehingga mereka terhanyut.

Demikian halnya dengan partai politik. Semestinya partai politik merupakan infrastruktur politik yang paling kuat potensinya untuk menyuarakan kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Namun orientasi partai politik saat ini masih berfokus untuk memperoleh kuasa, baik di legislatif maupun eksekutif. Bahkan partai politik yang semula rival dalam pemilihan umum dan pemilihan presiden pun akhirnya merapat ke penguasa dan menduduki jabatan. Hingga kini, partai-partai yang tetap berkukuh menjadi "oposisi" merupakan partai yang memang ingin beroposisi atau hanya karena tidak mendapat jatah kursi menteri dari presiden.

Tiga peran infrastruktur politik di atas justru telah menjadi suprastruktur politik juga. Hal ini menunjukkan betapa suprastruktur politik kini mendapat masukan hanya dari satu sisi telinganya, sisi yang seirama dengan kebijakan pemerintah. Sedangkan sisi telinga yang lain tidak pernah mendengarkan apa yang dimaui dan dirasakan pihak yang diperintah.

Infrastruktur politik lainnya adalah kelompok kepentingan, seperti kelompok pengusaha, pedagang, organisasi massa, organisasi buruh, organisasi keagamaan, dan sebagainya, yang pada intinya kelompok ini menjadi kelompok yang berpengaruh karena sumber daya manusianya, jaringannya, ataupun modal lainnya. Kelompok inilah yang memberikan masukan kepada pemerintah berupa gagasan dengan agenda kepentingan publik.

Beberapa dari kelompok ini cukup efektif menyampaikan masukan kepada pemerintah dalam pengambilan kebijakan, walaupun persentasinya masih kecil. Namun mereka terkadang punya agenda kelompok, yang tujuannya mendapatkan kue kekuasaan. Akhirnya mereka bergabung juga dengan kelompok suprastruktur politik.

Kelompok infrastruktur politik terakhir adalah kelompok penekan, seperti organisasi kepemudaan, mahasiswa, dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka mempunyai agenda memperjuangkan kepentingan publik dengan cara propaganda menolak kebijakan pemerintah atau mendesak pemerintah membuat kebijakan yang memihak rakyat.

Namun, secara keseluruhan, peran strategis infrastruktur politik makin melemah ketika berhadapan dengan suprastruktur politik. Ini menunjukkan dominasi pemerintah sebagai salah satu suprastruktur politik yang akan semakin kuat. Lebih-lebih pada pemerintahan periode kedua Joko Widodo ini, partai politik yang semula rival dalam pemilihan presiden malah diikutkan ke dalam struktur kabinetnya. Akibatnya, kontrol terhadap pemerintah melemah. Kondisi ini berbahaya bagi kehidupan demokrasi negara kita di masa depan.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

4 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

13 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

42 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya