Potret Suram Kabinet Jilid II

Penulis

Kamis, 24 Oktober 2019 07:00 WIB

Ekspresi Menkopolhukam Mahfud MD saat bersalaman dengan Presiden Joko Widodo di sela Kabinet Indonesia Maju periode Tahun 2019-2024 di Istana Negera, Jakarta, Rabu 23 Oktober 2019. TEMPO/Subekti

Kabinet Kerja jilid II tak menggambarkan jawaban atas tantangan untuk Indonesia selama lima tahun ke depan. Sejumlah posisi diisi oleh orang yang tak tepat. Alih-alih memberikan kepercayaan kepada mereka yang kompeten, Presiden Joko Widodo malah memilih orang berlatar belakang tak meyakinkan.

Di bidang ekonomi, misalnya, tantangan di depan mata adalah mengatasi defisit neraca perdagangan. Lebih jauh lagi, memacu pertumbuhan ekonomi, yang selama lima tahun ke belakang selalu di kisaran 5 persen. Bank Dunia malah meramalkan pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya mencapai 4,6 persen seiring dengan perlambatan ekonomi global. Menghadapi situasi sulit tersebut, Jokowi semestinya paham bahwa menteri berkarakter teknokratis cenderung akan bekerja lebih efektif ketimbang menteri dari partai politik.

Presiden memilih mendahulukan keterwakilan partai politik ketimbang efektivitas. Pemilihan menteri lebih seperti bagi-bagi kue kekuasaan, dengan melupakan mencari orang terbaik. Dibandingkan dengan periode pertamanya, pemilihan menteri di bidang ekonomi kali ini lebih buruk. Menteri dengan latar belakang tak jelas malah menduduki posisi penting.

Dalam menyusun kabinet, Jokowi juga tampak menyederhakan persoalan. Pendidikan, misalnya, diidentikkan dengan vokasi, sehingga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dibekali misi untuk menyediakan tenaga siap kerja. Lalu, yang dianggap sebagai masalah utama politik dan keamanan adalah radikalisme, sehingga Kementerian Dalam Negeri diisi jenderal polisi dan Kementerian Agama ditempati pensiunan jenderal Angkatan Darat.

Penempatan Prabowo Subianto-pesaing Jokowi dalam pemilihan presiden lalu-sebagai Menteri Pertahanan serta Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan demi mengakomodasi kepentingan politik praktis. Wajar jika kemudian langkah itu dinilai sebagai siasat mengunci Gerindra agar tak mengusik pemerintahan.

Advertising
Advertising

Karena tujuan praktis yang dikejar, sulit untuk berharap isu lain yang tak kalah penting menjadi perhatian pemerintah. Dalam pidatonya setelah dilantik sebagai presiden untuk kedua kalinya, Jokowi bicara panjang-lebar soal pertumbuhan ekonomi. Namun tak sekali pun ia menyinggung penegakan hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, hingga demokrasi.

Dengan terpaku pada "stabilitas" dan "pertumbuhan", Jokowi berpotensi mengulangi kesalahan Orde Baru. Pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan demokrasi dan hak asasi manusia justru akan menurunkan kualitas hidup manusia. Ditambah leluasanya praktik korupsi, model pembangunan semacam itu akan menyebabkan ketimpangan kian parah. Aktivitas ekonomi yang tidak efisien dan sarat dengan perburuan rente itu juga sulit membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah, seperti yang dicitakan-citakan Jokowi terjadi pada 2045.

Berharap bahwa kabinet baru ini bisa mengatasi berbagai persoalan pelik mungkin terlalu muluk. Tapi Jokowi punya hak prerogatif untuk segera mengganti menterinya bila kinerjanya tak memuaskan dengan orang yang lebih kompeten, tak sekadar memenuhi keinginan partai atau hasrat politik jangka pendek.

Catatan:

Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 24 Oktober 2019

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

15 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

24 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

53 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya