Tirani Legislasi

Selasa, 24 September 2019 07:07 WIB

Ribuan Mahasiswa saat menggelar aksi menolak RKUHP dan UU KPK yang baru di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin, 23 September 2019. Dalam Aksi tersebut mereka menyampaikan mosi tidak percaya kepada DPR RI dan menolak RKUHP karena memuat pasal-pasal yang kontroversial serta menolak UU KPK yang baru disahkan oleh DPR RI. TEMPO/M Taufan Rengganis

Wiwin Suwandi
Advokat dan Pegiat Antikorupsi

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku How Democracies Die menyebutkan bahwa matinya demokrasi tidak hanya disebabkan perang dan otoritarianisme, tapi juga oleh hal lain. Penyebab yang lain itu adalah sistem yang bekerja seolah-olah demokratis, tapi justru menghancurkan demokrasi itu sendiri. Pemilihan umum yang melahirkan apa yang mereka sebut sebagai elected autocrats (para autokrat terpilih) adalah aktor utama penghancuran demokrasi. "Dewasa ini kemunduran demokrasi dimulai dari kotak suara," demikian ditulis mereka.

Indonesia sedang menuju era matinya demokrasi dan para autokrat terpilih adalah auktor intelektualnya. Meski dipilih dari proses pemilihan umum yang diklaim "demokratis", mereka berkongsi dalam menyepakati perubahan undang-undang yang memukul mundur demokrasi dan pemberantasan korupsi.

Akhir-akhir ini publik disuguhi drama pembahasan dan persetujuan beberapa undang-undang yang bertentangan dengan aspirasi rakyat, seperti revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), revisi Undang-Undang Lembaga Pemasyarakatan, dan pemilihan pemimpin KPK yang kontroversial.

Revisi UU KPK yang baru disetujui dalam rapat kilat memuat sejumlah pasal yang bisa membuat lembaga itu dikafani, seperti KPK menjadi di bawah kekuasaan eksekutif, keberadaan dewan pengawas yang terlibat dalam izin penyadapan, kewenangan penghentian penyidikan, dan pegawai KPK menjadi aparat sipil negara.

Advertising
Advertising

Derita KPK semakin sempurna saat Dewan Perwakilan Rakyat memilih lima pemimpin KPK dan secara aklamasi menetapkan seseorang yang cacat integritas sebagai Ketua KPK. Dalam uji kelayakan dan kepatutan, Ketua KPK terpilih dengan cerdik menawarkan proposal kolutif dengan hendak mengevaluasi wewenang penyadapan KPK.

Proposal ini disambut dengan antusias dan gegap gempita. Seolah-olah inilah perayaan kebebasan dari rasa takut para wakil rakyat korup yang selama ini merasa diawasi KPK. Nalar sehat rakyat tidak sulit mencari alasan di balik musyawarah kolutif ini. Data KPK tiap tahun menunjukkan bahwa aktor korupsi yang paling banyak ditangani lembaga tersebut adalah anggota parlemen, kemudian swasta. Pihak swasta juga berkongsi dengan mereka.

Pemerintah juga seakan-akan mengikuti irama kepentingan para wakil rakyat itu dengan tidak mengacuhkan gelombang aspirasi rakyat yang menolak revisi, termasuk menolak Ketua KPK terpilih. Negara lupa bahwa KPK telah sangat berjasa menekan laju korupsi tiap tahun melalui peningkatan indeks persepsi korupsi (IPK). Peningkatan IPK itu berkorelasi dengan meningkatnya kesadaran politik warga negara akan bahaya korupsi dan ada peran besar KPK di situ.

Drama itu berlanjut dengan pembahasan revisi Undang-Undang Lembaga Pemasyarakatan yang juga kontroversial. Pasal 7 draf revisi memberikan hak kepada terpidana korupsi untuk pelesiran ke luar penjara. Bagi terpidana korupsi, revisi ini memberikan privilege dan seolah-olah menjadi perayaan atas kebebasan mereka yang dikekang Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang sangat membatasi mereka mendapat remisi khusus dan asimilasi.

Pasal 34A revisi undang-undang tersebut memberikan syarat khusus kepada terpidana kejahatan khusus seperti korupsi untuk mendapat remisi. Syarat itu adalah bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya, serta telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana korupsi. Revisi ini tentu akan melahirkan peraturan pemerintah baru yang tidak mengandung semangat antikorupsi untuk mengganti peraturan lama.

Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana juga memuat ancaman tirani legislasi terhadap demokrasi dan kebebasan sipil yang nyata. Beberapa pasal kontroversial mencerminkan watak kolonial yang tidak sejalan dengan proses demokratisasi. Seorang warga negara, misalnya, bisa dipidana jika menghina presiden dan wakil presiden. Pasal ini juga berlaku dan menjadi ancaman terhadap kemerdekaan pers. Pasal makar yang berbeda jauh dengan tafsir aslinya (aanslag) bisa menjadi senjata untuk mengekang kebebasan sipil yang mengkritik penguasa.

Rancangan KUHP juga menganggap korupsi bukan kejahatan serius dengan tidak mengadopsi pengaturan khusus yang ada dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Rancangan itu tidak memuat pengaturan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Padahal, dalam UU Tipikor, pidana penjara, kewajiban membayar denda, dan uang pengganti adalah satu kesatuan.

Anehnya, tirani legislasi ini terjadi pada era reformasi. Dalam sebuah kepemimpinan yang menawarkan janji Nawa Cita yang kemudian menjadi dukacita. Sebuah era yang semestinya dibangun di atas fondasi transparansi, akuntabilitas, etika, serta tanpa kolusi, korupsi, dan nepotisme. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Era ini hendak mengembalikan Indonesia ke masa "jahiliyah Orde Baru".

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya