Menangkal Kemenangan Oligarki

Penulis

Senin, 23 September 2019 07:10 WIB

Vandalisme berupa coretan dengan cat semprot terlihat di area demonstrasi mahasiswa di gerbang utama Kompleks DPR RI, Jalan Gatot Subroto, Rabu malam, 19 September 2019. Tempo/Adam Prireza

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mengambil kesempatan dalam kesempitan: membahas sejumlah undang-undang penting pada akhir periode. Sayangnya, kaum oligark yang justru mendapat keuntungan terbesar dalam proses ini. Masa depan demokrasi dan pemberantasan korupsi terancam jika langkah politik dua lembaga itu diteruskan.

Pembahasan diam-diam dan ekstra-kilat revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya, menunjukkan persekutuan pemerintah dan DPR itu. Sejumlah aturan baru memangkas kewenangan yang selama ini menjadi kekuatan lembaga antikorupsi tersebut. Pelemahan usaha melawan korupsi semakin sempurna dengan persetujuan atas Undang-Undang Pemasyarakatan, yang memberi banyak kelonggaran kepada narapidana kasus korupsi.

Pada waktu yang hampir bersamaan, berbagai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pertanahan, sumber daya air, hingga mineral dan pertambangan dikebut. Semangatnya memberi kemurahan kepada korporasi atas nama "memudahkan investasi". Seperti berkejaran dengan waktu, pemerintah dan Dewan juga menggenjot pengesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang isinya pun cenderung represif. Jumat pekan lalu, Presiden Joko Widodo memang meminta agar pengesahan revisi ini ditunda. Namun penundaan ini tak lebih dari sekadar gula-gula jika materi-materi yang membahayakan demokrasi tidak dihilangkan.

Pembahasan Rancangan KUHP di Senayan sudah rampung. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, yang mewakili Presiden, telah meneken persetujuan dalam pembahasan tingkat pertama bersama Komisi Hukum DPR. Hanya mengundurkan waktu pengesahan ke DPR periode yang baru, peraturan yang bakal mengekang banyak kebebasan sipil itu tetap akan berlaku.

Permintaan Jokowi itu justru menunjukkan standar ganda pemerintah. Ketika meminta DPR menunda pengesahan revisi Undang-Undang KUHP, Presiden berdalih demi mendengarkan masukan masyarakat. Sejumlah pasal yang mengatur penghinaan presiden, kebebasan pers, hingga seks di luar nikah disebut mengundang kontroversi. Tapi ironisnya, Presiden mengabaikan suara masyarakat yang jelas-jelas menolak revisi Undang-Undang KPK.

Advertising
Advertising

Undang-Undang Pemasyarakatan akan secara sempurna melengkapi invalidnya lembaga pemberantas korupsi setelah kewenangan KPK dipangkas habis oleh revisi Undang-Undang KPK yang telah disahkan. Pembentukan dewan pengawas, penyadapan harus seizin dewan pengawas, penyidik harus berstatus pegawai negeri, hingga kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan telah secara efektif memasung KPK. Revisi ini membuat KPK hanyalah lembaga biasa yang tak lagi bisa melawan kejahatan luar biasa berupa korupsi.

Presiden semestinya mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perpu untuk membatalkan revisi Undang-Undang KPK. Langkah politik ini memiliki preseden, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yang mengatur pemilihan kepala daerah dilakukan kembali melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-tidak lagi melalui pemilihan langsung. Tanpa langkah nyata menyelamatkan lembaga antikorupsi-dan perangkat demokrasi lainnya-Presiden kelak akan dikenang sebagai kepala negara yang memuluskan kembalinya oligarki.

DPR

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya