Hapuskan Pidana Kebiri

Penulis

Kamis, 5 September 2019 16:40 WIB

Kebiri Kimia

Kebiri merupakan hukuman kuno sekaligus melanggar hak asasi manusia. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat perlu menghapus hukuman ini. Jika ingin menghukum pemerkosa anak seberat-beratnya, hakim bisa menerapkan pidana tambahan.

Pro-kontra soal kebiri mencuat lagi setelah hakim memvonis Muh. Aris dengan hukuman 12 tahun penjara plus kebiri kimia. Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto, Jawa Timur, menyatakan pemuda 20 tahun itu terbukti bersalah memerkosa sejumlah bocah. Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi Surabaya pada Juli lalu.

Vonis itu merupakan yang pertama sejak kebiri kimia diatur dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang pada 2016. Perpu yang diteken Presiden Joko Widodo ini memuat revisi terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak. Revisi tersebut kemudian disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan disahkan lewat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.

Kebiri kimia dilakukan dengan cara mengurangi hormon testosteron untuk menekan dorongan seksual. Hanya, kejaksaan belum bisa mengeksekusi hukuman ini lantaran pemerintah belum menerbitkan aturan pelaksanaannya. Ikatan Dokter Indonesia pun menolak menjadi eksekutor karena undang-undang mengatur bahwa yang menjadi eksekutor adalah jaksa, bukan dokter.

Jika ingin memperbesar efek jera, hakim semestinya cukup memperberat hukuman Aris dengan penjara seumur hidup. Hakim pun bisa memilih hukuman tambahan yang lebih manusiawi, seperti mengungkap identitas pelaku kepada publik atau memasang alat deteksi elektronik agar pelaku bisa dipantau petugas.

Advertising
Advertising

Hukuman kebiri sebetulnya kuno. Kebiri fisik telah diterapkan di berbagai negara sejak ratusan tahun lalu. Di Eropa, pada Abad Pertengahan, lex talionis memberlakukan kebiri untuk delik zina dan pemerkosaan. Prinsipnya adalah hukuman sebagai pembalasan sesuai dengan kejahatan: pencuri dipotong tangannya, pemerkosa dikebiri, dan pembunuh dihukum mati.

Setelah Perang Dunia II, penerapan hukuman kebiri menurun drastis di Eropa. Perubahan besar juga terjadi di Amerika Serikat bersamaan dengan berkembangnya demokrasi. Hukuman cambuk, kebiri, dan pemotongan organ tubuh lenyap dari undang-undang. Berbagai jenis hukuman semacam itu sudah tidak cocok dalam masyarakat modern dan beradab.

Hukum modern memandang bahwa kejahatan lahir tidak semata dari faktor agresivitas perseorangan, tapi juga dari lingkungan sosial dan politiknya. Motif seseorang memerkosa tak selalu karena hasrat seksual, tapi bisa jadi karena kemarahan, kebencian, atau motif lain. Bila orang semacam ini dihukum kebiri, hukuman itu tidak menyasar pokok masalah.

Hukuman kebiri kimia jelas melanggar hak asasi: setiap orang berhak menentukan segala tindakan atas tubuhnya. Kebiri menabrak pula hak prokreasi atau hak memiliki keturunan. Kebiri kimia pun diyakini akan memicu antara lain penyakit kardiovaskular, hipertensi, depresi, dan insomnia.

Dari aspek penegakan hukum, kebiri kimia juga tak menjamin menimbulkan efek jera. Hasil penelitian Fred S. Berlin, Direktur National Institute for the Study, Prevention and Treatment of Sexual Trauma, Amerika Serikat, pada 1994 menunjukkan hal tersebut. Dia menyimpulkan 8 persen dari 629 lelaki yang dikebiri kimia mengulangi lagi perbuatannya dalam periode lima tahun.

Semua hal itu menunjukkan kebiri kimia merusak martabat manusia. Sebagai negara demokrasi yang menghormati hak-hak asasi manusia, Indonesia tak sepatutnya menerapkan hukuman ini.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

10 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

39 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya