Gagalnya Keamanan Manusia Masyarakat Papua

Senin, 26 Agustus 2019 07:00 WIB

Aliansi SAFEnet menunjukkan poster tuntutan saat menggelar aksi solidaritas di depan Kementerian Informatika dan Komunikasi di Jl Tanah Merdeka, Jakarta, Jumat, 23 Agustus 2019. Kominfo mengumumkan pemblokiran data di Papua dan Papua Barat, bertujuan untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di Papua dan sekitarnya. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Ikhsan Yosarie
Peneliti Hak Asasi Manusia dan Sektor Keamanan Setara Institute

Persekusi rasial yang diiringi tindakan main hakim sendiri terhadap mahasiswa Papua di beberapa daerah di Jawa Timur belakangan ini telah mencederai rasa kemanusiaan karena terjadinya dehumanisasi melalui kata-kata dan perlakuan yang tidak pantas. Hal ini juga menunjukkan gagalnya keamanan manusia terhadap saudara-saudara Papua, khususnya yang berada di Jawa Timur. Padahal secara eksplisit UUD 1945 telah menjamin bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan serta berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Jaminan ini juga sesuai dengan dua komponen utama dalam keamanan manusia, yakni bebas dari rasa takut dan bebas atas apa yang diinginkan.

Dalam perspektif keamanan manusia, subyek atas keamanan bukan lagi negara (state oriented), melainkan manusia (human oriented). Perubahan perspektif ini, karena ancaman tidak lagi hanya berupa ancaman militer atau berkaitan dengan teritorial, tapi juga meliputi ancaman politik, sosial, ekonomi, maupun ekologis. UNDP (2004) menempatkan keamanan komunitas (community security) sebagai salah satu dari tujuh komponen keamanan manusia. Indikator-indikator keamanan komunitas berkaitan dengan politik identitas dan konflik berbasis suku, agama, ras, dan antar-golongan.

Penerapan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 66/290 pada 10 September 2012 menjadi tonggak penting untuk penerapan keamanan manusia. Dalam paragraf ketiga dari resolusi tersebut, Majelis menyetujui dengan konsensus bahwa keamanan manusia adalah suatu pendekatan untuk membantu negara-negara anggota dalam mengidentifikasi dan mengatasi tantangan yang meluas dan lintas sektoral untuk kelangsungan hidup, mata pencarian, dan martabat rakyat mereka.

Peristiwa persekusi rasial terhadap orang Papua tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya praktik rasialisme masih hidup di tengah masyarakat kita. Praktik dan narasi rasialisme ini destruktif dan hidup dalam bingkai kemajemukan dan keberagaman kita, yang tentu saja menjadi dua narasi yang paradoksal. Lebih dari itu, pencegahan dan penanggulangan praktik rasialisme yang berbasis dan berperspektif keamanan dan stabilitas negara justru membuat praktik rasialisme bak api dalam sekam, yang tinggal menunggu waktu untuk meletup.

Advertising
Advertising

Mengapa menjadi api dalam sekam? Perspektif keamanan dan stabilitas negara mengedepankan cara bagaimana membuat kondisi yang tengah bergejolak kembali stabil dan kondusif. Basis dan perspektif ini dapat dilihat dari respons pemerintah yang cenderung menguatkan narasi bahwa ketegangan terjadi karena tersebarnya hoaks dan provokasi melalui media sosial serta akan menangkap oknum-oknum penyebar hoaks dan perusakan fasilitas umum ketika terjadi demonstrasi di Manokwari. Puncak dari narasi itu adalah keadaan kembali normal seperti sedia kala.

Sebaliknya, perspektif keamanan manusia mengedepankan bagaimana memastikan rasa aman dan keamanan masyarakat. Dalam kasus ini, praktik rasialisme menjadi penyebabnya. Sehingga yang diupayakan adalah bagaimana praktik tersebut tidak terjadi lagi. Untuk menjamin terpenuhinya keamanan masyarakat Papua, yang paling utama dilakukan tentu memproses secara hukum orang-orang yang melakukan persekusi tersebut. Mereka secara nyata melakukan dehumanisasi dan menimbulkan rasa tidak aman terhadap masyarakat Papua. Bila mereka diproses secara hukum, secara otomatis stabilitas pun akan kembali karena pokok persoalannya terselesaikan. Pada titik inilah, pendekatan keamanan manusia (human security) menjadi penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan praktik rasialisme.

Dalam studi keamanan kritis, keamanan hadir ketika masyarakat bebas berkeinginan dan bebas dari ketakutan, bukan dengan memantapkan stabilitas melalui daya paksa dan tata keamanan tertentu yang cenderung membatasi kebebasan masyarakat. Perspektif ini mengeliminasi kekuatan bersenjata sebagai solusi atau memecahkan masalah keamanan.

Kewajiban negara dalam melindungi warga negaranya tidak dapat dilakukan setengah-setengah. Apa yang dialami masyarakat Papua menjadi preseden buruk bagi tanggung jawab negara dalam melindungi dan menjamin rasa aman warga negaranya. Perubahan perspektif negara mengenai persoalan keamanan, dari orientasi negara menuju orientasi manusia, patut dilakukan secepat dan semaksimal mungkin, mengingat persoalan keamanan mutakhir berpusat pada masalah-masalah kemanusiaan.

Imbauan Presiden Joko Widodo untuk saling memaafkan memang menjadi solusi dalam kerangka kemajemukan dan keberagaman bangsa Indonesia. Meskipun, di sisi lain, tindakan negara yang berperspektif keamanan manusia juga harus dilakukan. Setara Institute telah mengatakan bahwa pelanggengan rasialisme dan stigmatisasi menjadi akar rantai kekerasan yang berulang kali dialami oleh masyarakat Papua, baik secara struktural, kultural, maupun secara langsung.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya