Monyet

Penulis

Putu Setia

Sabtu, 24 Agustus 2019 07:30 WIB

Putu Setia
@mpujayaprema

Gara-gara ada yang memaki dengan menyebut kata monyet, kerusuhan pun terjadi. Sejumlah bangunan dibakar. Harga diri orang begitu dihina dengan sebutan monyet dan pembalasan telah dilakukan. Betapa mahalnya penghinaan itu.

Sejak zaman purba, kita suka membanding-bandingkan diri dengan hewan. Dua penulis Yunani, Homer dan Aesop, jauh sebelum ada kalender Masehi, sudah mempopulerkan keledai sebagai binatang paling dungu. Yang lebih pintar adalah kuda. Ratusan tahun setelah itu muncul pepatah: "hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali". Begitu dungunya manusia bak keledai sehingga sulit diperbandingkan dengan orang pintar, seperti kata pepatah "keledai hendak dijadikan kuda".

Kalau kita buka kamus yang menghimpun peribahasa, banyak ditemukan nama hewan sebagai simbol untuk mencemooh manusia. Ada "muka badak", bisa dipakai untuk koruptor yang masih tertawa padahal sudah mengenakan rompi oranye. Ada orang yang "membabi-buta" main seruduk saja. Ada yang mengumbar caci-maki, mulutnya berbahaya seperti "mulut harimau". Kita pernah punya Ketua DPR yang mudah berkelit setiap kali ada kasus hukum ibarat "selicin belut" meski "sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh pula". Masih banyak pepatah lama yang mencatut nama hewan, padahal bisa tidak adil buat hewan itu. Tetangga saya punya peternakan babi. Justru babi yang buta sangat adem dan kalem.

Di awal Kerajaan Majapahit, para tokoh memakai nama binatang, tentu dipilih binatang yang perkasa. Ada Kebo Iwa, Gajah Mada, Hayam Wuruk, dan seterusnya. Bukan cuma dijadikan nama, hewan juga menjadi sebuah simbol yang dilekatkan pada bendera untuk dikibarkan. Sisa-sisa peradaban itu masih terlihat. Misalnya, banteng pada lambang PDI Perjuangan atau garuda pada Partai Gerindra.

Advertising
Advertising

Pada era senja Majapahit, para resi mulai menyadarkan umatnya agar tidak menjadikan binatang sebagai simbol, apakah simbol kebaikan atau keburukan. Dari kitab-kitab Jawa Kuno ditemukan ada upaya para resi memilah kehidupan dunia ini dengan membagi ciptaan Tuhan menjadi tiga, yakni yang punya suara, punya napas, dan punya pikiran-istilahnya bayu, sabda, idep. Kehidupan paling minim adalah tumbuh-tumbuhan, hanya punya napas (bayu). Pepohonan tak bisa berpikir dan bersuara untuk menunjang kehidupannya. Kehidupan yang menengah adalah hewan. Punya napas dan suara, tapi tak punya pikiran. Anjing bisa kencing di sembarang tempat, misalnya. Lalu, kehidupan yang paling utama adalah manusia. Punya ketiganya (disebut Tri Pramana): bayu, sabda, idep. Manusia punya pikiran, akal, dan ilmu. Kenapa lahir menjadi manusia tapi masih mengidolakan hewan? Begitu nasihat para leluhur.

Disusunlah kitab tentang etika lahir menjadi manusia, judulnya Sarasamusccaya, disebut sebagai kitab "Smerti Nusantara"-pedoman etika di Nusantara. Bagian awal kitab ini menerangkan betapa mulianya lahir sebagai manusia. "Apan iking dadi wwang uttama juga ya..." Ini penggalan ayat 4 yang terjemahan bebasnya "sesungguhnya menjelma (lahir) sebagai manusia itu sangat utama". Kitab ini memang berbahasa Jawa Kuno yang memberi nasihat janganlah membandingkan diri dengan hewan, itu sangat merendahkan derajat kemanusiaan.

Maka tepat jika Presiden Jokowi meminta sebutan cebong dan kampret, yang dipakai sebagai kata penghinaan saat pilpres, tak ada lagi. Dan sangat wajar warga Papua marah karena direndahkan dengan sebutan monyet. Kenapa saat ini mudah sekali kita merendahkan diri menyamai binatang dan kenapa kita tak lagi menggali kearifan para leluhur kita pada masa lalu? Ayo kita kembali sopan.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

2 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

11 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

40 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya