Terjebak dalam Politik Dinasti

Penulis

Selasa, 20 Agustus 2019 07:00 WIB

PDIP menggelar kongres ke lima di Sanur, Bali, Kamis 8 Agustus 2019.

SETELAH dua puluh tahun reformasi, kondisi partai politik kita masih amat memprihatinkan. Lepas dari perangkap rezim otoriter Soeharto, partai-partai bukannya beranjak modern, malah menjadi elitis dan figur-sentris. Gejala ini mengkhawatirkan lanta­ran partai politik akan lebih berorientasi pada kepentingan elite ketimbang publik.

Ketergantungan pada figur atau personalisasi itu merata di hampir semua partai politik. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan terpatri pada Megawati Soekarnoputri. Dalam kongres di Bali beberapa waktu lalu, partai pemenang pemilihan umum ini kembali mengangkat Megawati, 72 tahun, sebagai ketua umum untuk periode 2019-2024. Gejala serupa terjadi antara lain pada Partai Gerakan Indonesia Raya yang dipimpin Prabowo Subianto, Partai Demokrat yang dinakhodai Susilo Bambang Yudhoyono, juga Partai NasDem di bawah pimpinan Surya Paloh.

Fenomena tersebut akhirnya memunculkan pola tradisional ke dalam partai, yakni kepemimpinan yang feodal dan relasi patron-klien. Selain dianggap memiliki karisma dalam menggalang massa, figur sentral partai politik umumnya dijadikan patron karena kemampuannya mendanai partai dan relasinya dengan kekuasaan.

Partai semestinya berfungsi sebagai saluran aspirasi dan partisipasi politik sekaligus instrumen demokrasi untuk mengisi jabatan publik di pemerintahan dan parlemen. Tapi kepemimpinan yang berpola patron-klien mendorong partai menjadi elitis, oligarkis, dan mengabaikan kepentingan masyarakat.

Kalangan partai politik terkesan hanya membutuhkan masyarakat setiap lima tahun sekali. Yang dijual partai saat pemilu pun bukan program atau ideologi partai, melainkan "gula-gula": kalau bukan figur, ya uang, dan belakangan malah politik identitas, yang menciptakan segregasi di tengah masyarakat.

Advertising
Advertising

Tentu saja hal ini bukan fenomena khas Indonesia. Personalisasi partai politik terjadi di semua negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, yang partai politiknya belum tumbuh menjadi organisasi modern berbasiskan nilai-nilai demokratis. Partai seperti ini biasanya mudah pecah. Jika tidak pecah, personalisasi partai menghambat kaderisasi dan melahirkan politik dinasti; hal yang tak kalah berbahayanya bagi demokrasi.

Gejala itu pun mulai terlihat di PDIP. Anak Megawati, Puan Maharani dan Prananda Prabowo, telah berada di jajaran ketua partai dan disebut-sebut dipersiapkan untuk menggantikan ibunya, mempertahankan kepemimpinan trah Sukarno di partai banteng. PDIP juga akan mengajukan Puan sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024.

Di Partai Demokrat, selain Yudhoyono sebagai ketua umum, putra keduanya, Edhie Baskoro, memimpin fraksi partai itu di DPR dan putra sulungnya, Agus Harimurti, digadang-gadang menggantikan dia sebagai ketua umum. Agus juga selalu diutus partai untuk berbagai jabatan politik; terakhir sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Sedangkan NasDem disebut-sebut telah mengajukan Prananda Paloh sebagai salah satu calon menteri.

Partai politik semestinya tidak dikelola seperti perusahaan keluarga. Dalam demokrasi yang normal, penyimpangan semacam itu semestinya dikoreksi oleh publik. Caranya dengan tidak memilih partai yang elitis dan cenderung menjadi dinasti tersebut, yang mengabaikan kontrak politik dan tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat. Sayangnya, itu belum terjadi di negeri ini.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya