Tercorengnya Kebebasan Beribadah

Penulis

Rabu, 31 Juli 2019 07:01 WIB

Kegiatan ibadah Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu Bantul (Dokumentasi ANBTI Yogyakarta

Kebebasan dalam menjalankan ibadah di Indonesia kembali tercoreng. Dalam sepekan ini, ada dua peristiwa yang memperlihatkan sulitnya pendirian tempat ibadah. Yang lebih menyesakkan lagi, kali ini pelakunya adalah pejabat publik.

Di Bantul, Yogyakarta, Bupati Suharsono mencabut izin pendirian Gereja Immanuel Sedayu pada Jumat lalu. Sebagai kepala daerah yang semestinya melindungi warganya untuk menjalankan ibadah, ia justru menjadi pelaku dalam mencoreng kebebasan dan toleransi beragama.

Mirip di Bantul, kerukunan beragama di Minahasa Utara, Sulawesi Utara, juga ternoda oleh ulah Kepala Desa Tumaluntung, Ifonda Nusah, yang menyegel musala di Perumahan Agape Griya. Video penyegelan ini viral sejak Sabtu lalu. Alasan kepala desa klasik: pendirian tempat ibadah itu harus berizin.

Dua kejadian itu menunjukkan bahwa kelompok minoritas kerap sulit mendapatkan izin mendirikan tempat ibadah. Jemaat Gereja Immanuel di Sedayu, Bantul, merupakan warga minoritas agama di tengah mayoritas warga muslim di sana. Sebaliknya, penduduk muslim di Minahasa Utara merupakan kelompok minoritas di tengah masyarakat Kristen.

Polanya pun mirip. Bupati dan kepala desa melakukan tindakan tak elok itu setelah mendapat tekanan dari kelompok intoleran, atau atas nama penolakan dari warga sekitar. Padahal, dengan alasan apa pun, aksi sepihak penutupan paksa tempat ibadah tidak bisa dibenarkan.

Advertising
Advertising

Biang tindakan diskriminatif itu adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006. Peraturan ini memuat, antara lain, prosedur dan syarat pendirian tempat ibadah. Baik bupati maupun kepala desa tersebut bersembunyi di balik aturan ini dalam menutup tempat ibadah.

Sesuai dengan aturan itu, pendirian tempat ibadah membutuhkan paling sedikit 90 nama pengguna tempat ibadah yang disahkan pejabat setempat. Selain itu, pendirian tempat ibadah harus didukung sedikitnya 60 warga setempat dan disahkan oleh lurah atau kepala desa.

Kebijakan ini tak relevan dalam negara Indonesia yang memberikan kebebasan beragama kepada warganya. Aturan ini justru kerap digunakan oleh kaum mayoritas dan pejabat sebagai alat untuk mendiskriminasi kelompok minoritas. Di daerah mayoritas muslim, warga menghambat pembangunan gereja. Sebaliknya, di wilayah yang dihuni mayoritas pemeluk Nasrani, pendirian masjid dipersulit.

Pemerintah sebaiknya segera merevisi total peraturan bersama itu. Pendirian rumah ibadah tidak bergantung pada kemurahan hati pemuka agama atau masyarakat sekitar yang berbeda keyakinan agama. Pemerintah hanya perlu mengatur agar pelaksanaan hak itu tidak melanggar hak warga yang lain.

Lahirnya peraturan bersama justru merusak kerukunan dan kebebasan beragama. Kepentingan kaum minoritas tidak terlindungi. Aturan itu juga menabrak konstitusi yang mewajibkan negara menjamin kebebasan dalam menjalankan ibadah agama.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

11 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

39 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya