Awal dari Akhir Eksistensi KPK

Senin, 29 Juli 2019 07:34 WIB

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dan Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Yuyuk Andriati dalam konferensi pers penetapan tersangka Bupati Kudus, M Tamzil di geduk KPK, Jakarta, 27 Juli 2019. Tempo/M Rosseno Aji

Ahmad Khoirul Umam
Managing Director Paramadina Public Policy Institute

Kerja pemberantasan korupsi bukan semata-mata kerja penegakan hukum, melainkan juga kerja politik. Agresivitas pemberantasan korupsi akan selalu memicu lahirnya serangan balik dari kekuatan-kekuatan korup. Karena itu, pemberantasan korupsi selalu membutuhkan dukungan dari pemimpin politik tertinggi suatu negara (Quah, 1999). Keberpihakan presiden sebagai pemimpin politik tertinggi akan memberikan perlindungan yang memadai bagi lembaga dan aktor-aktor antikorupsi, baik dalam konteks keselamatan jiwa, kelancaran investigasi, efektivitas pencegahan, maupun pendanaan lembaga antikorupsi.

Meski demikian, komitmen politik pemimpin untuk mendukung lembaga antikorupsi tidak mudah terjadi (Aspinall, 2012; Umam, 2018). Sebab, bagi para pemangku kepentingan politik di negeri ini, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seolah-olah merepotkan mereka. Saat sejumlah kekuatan politik membutuhkan taring dan kuku tajam KPK untuk menerkam lawan dan kompetitor politik mereka, penguatan KPK dioptimalkan. Mekanisme politik dijalankan untuk mendapatkan figur-figur kuat, sangar, agresif, dan tak gentar terhadap kekuasaan. Sebaliknya, saat KPK dianggap merepotkan, figur-figur yang "slow" justru ditempatkan sebagai nakhoda KPK.

Kini, gerakan masyarakat sipil yang selama ini menjadi pilar sehat bagi gerakan antikorupsi juga seolah-olah senyap dan kurang bergairah. Besar kemungkinan hal itu dipengaruhi oleh adanya fragmentasi akibat polarisasi dan keberpihakan para aktivis antikorupsi dalam konstelasi politik nasional. Sejumlah nama besar aktivis antikorupsi masa lalu telah berada di tiap kubu politik, tidak lagi fokus dan lantang menyuarakan agenda antikorupsi. Pada saat yang sama, polarisasi juga merambah media, yang semula menjadi mitra strategis KPK.

Semua kondisi ini seolah-olah mengkonfirmasi cara pandang tradisi strukturalisme yang menggariskan bahwa reformasi sejatinya telah dibajak oleh kekuatan korup yang selama ini menyelinap ke dalam pilar-pilar demokrasi di negeri ini. Laku keseharian dalam ranah politik dan pemerintahan tak ubahnya kelanjutan dari tradisi korup yang dibungkus dengan narasi-narasi perubahan semu (Robison, 2004; Winters; 2013). Pada saat yang sama, harapan besar terhadap kekuatan masyarakat sipil dihadapkan pada kenyataan akan mudahnya polarisasi dan fragmentasi di tubuh masyarakat sipil yang membuat pergerakan dan perjuangan mereka cenderung tidak berkelanjutan (Hadiz, 2013; Robison, 2013).

Advertising
Advertising

Kondisi politik semacam ini menjadi peringatan keras bagi semua pihak, terutama presiden sebagai panglima tertinggi dalam agenda pemberantasan korupsi. KPK tidak bisa dibiarkan sendirian mengurai benang kusut dan menata kesemrawutan negeri ini. Ke depan, kerja KPK tidak boleh lagi disandarkan pada kerja-kerja pemberantasan korupsi yang sporadis dan tak tentu arah. Tingginya capaian penyidikan dan operasi tangkap tangan (OTT) dengan wilayah target yang berulang bukanlah pencapaian. Keberhasilan KPK diukur dari kemampuannya mengidentifikasi persoalan, menjalankan fungsi penindakan, dan memastikan solusi berjalan melalui fungsi pencegahan.

Tahun lalu, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi sebagai kelanjutan dari strategi nasional 2012 pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun kerja-kerja pencegahan itu masih tampak belum efektif, yang dibuktikan dengan masih tingginya praktik korupsi di sektor yang sama, yang telah disidik oleh KPK.

Sebagai pemimpin tertinggi, presiden adalah penentu bagaimana orkestra kinerja antikorupsi antara KPK, Badan Perencana Pembangunan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara, dan aparat penegak hukum bisa dijalankan. Jika tidak, Indonesia akan selalu terjebak dalam fenomena treadmill effect: seolah-olah berlari sekuat tenaga, tapi masih berada di tempat yang sama. Hal itu dikonfirmasi oleh stagnasi indeks persepsi korupsi dari tahun ke tahun.

Ke depan, pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin harus benar-benar mampu menjalankan amanat pemberantasan korupsi. Jangan lagi ada elite politik di lingkaran kekuasaan yang mengeluarkan "instruksi klise dan bersayap" agar kerja-kerja pemberantasan korupsi tidak memicu instabilitas politik dan mengganggu pembangunan.

Pada saat yang sama, pemimpin KPK mendatang juga harus memiliki visi yang jelas dan peta jalan pemberantasan korupsi. Pada 2011, KPK dan pemerintahan SBY merumuskan peta jalan yang berhasil mengidentifikasi empat sektor strategis dengan kerugian negara paling banyak, yakni sektor infrastruktur, pangan, energi, dan politik-pemerintahan.

Pemimpin KPK yang baru harus tahu sektor mana yang menjadi prioritas utama kinerjanya. Hal ini juga akan memudahkan kerja-kerja koordinasi dan supervisi dengan lembaga-lembaga pemerintah lainnya sekaligus agar presiden paham ke mana otoritas politiknya dapat dioptimalkan untuk mendorong kerja-kerja antikorupsi. Tanpa hal itu, kondisi saat ini akan menjadi masa "awal dari akhir" eksistensi KPK. KPK mungkin akan tetap ada, tapi tidak terasa dampaknya terhadap perubahan integritas dan kualitas tata kelola pemerintahan.

KPK

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya