Kipandjikusmin

Senin, 22 Juli 2019 14:00 WIB

Cerita pendek itu jelek, tapi bukan kesusastraan yang menghakiminya. Ia justru dihukum orang-orang yang tak paham karya sastra mungkin malah orang yang tak membacanya, atau tak mengerti bagaimana membacanya: di tahun 1968, sebuah fiksi sepanjang 4.400 kata, "Langit Makin Mendung", jadi penting karena diteriaki menghina agama, dan kritikus sastra Indonesia terkemuka, H.B. Jassin, dihukum.

Cerita itu ditulis seseorang yang memakai nama "Kipandjikusmin". Sampai hari ini, lebih dari setengah abad kemudian, tak jelas siapa nama sebenarnya. Dari H.B. Jassin, yang menerbitkan cerita itu dalam majalah yang dipimpinnya, Sastra, kita hanya tahu bahwa "Kipandjikusmin" orang muda yang pemalu, pendiam, tak banyak bergaul, dan suka merenung.

Dan tampaknya ia belum bisa menulis dengan baik. "Langit Makin Mendung" adalah sebuah percobaan membuat satire yang kikuk.

Ceritanya, dengan agresif dan ketawa masam, menampilkan buruknya keadaan Indonesia di akhir pemerintahan Bung Karno. Presiden yang disebut "Pemimpin Besar Revolusi" itu ditampilkan konyol, sembarangan, justru dengan kekuasaannya yang besar. Di istananya, ia dan para penjilatnya bernyanyi dan menari-nari; di luar Istana, terpampang hal-hal yang sengsara dan menjijikkan. Di wilayah Pasar Senen, misalnya, "Sundal tua mengerang... kena raja singa." "Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap nanah." Udara berbau kencing berjengkol dan orang berzina....

Apa yang terjadi? Jawab cerita ini: karena "pengaruh adanya Nasakom".

Advertising
Advertising

Dari semua itu dengan mudah bisa ditebak: "Langit Makin Mendung" adalah sepotong fiksi anti-Sukarno. Tapi lebih dari itu, anti-komunis. Satire ini menganggap ide "Nasakom" persatuan nasionalisme, agama, dan komunisme sebuah agama baru dan Sukarno nabinya, "nabi palsu".

Pernyataan permusuhan ini sebenarnya lumrah dalam satire. Dalam kesusastraan Inggris satire jenis "Juvenalian" bahkan dibangun dengan gambaran yang pahit dan tajam menusuk pihak lawan. Humor tak selalu harus ada, meskipun satire terbaik sanggup membuat kita ketawa dan setelah itu berpikir, menelaah hal-hal yang perlu dikecam. Seperti Gulliver’s Travels Jonathan Swift.

"Langit Makin Mendung" jauh dari kualitas itu. Cerita pendek ini tak mengundang untuk dibaca ulang; membosankan: sebuah propaganda politik yang telanjang, yang mengambil bahan tanpa diolah dari pamflet-pamflet anti-Sukarno dan anti-komunis model "Orde Baru" di tahun 1960-an. Jenakanya terbatas. Tak ada ironi. Dalam "Langit Makin Mendung", pernyataan bisa begitu yakin, stabil, tak main-main, bahkan bombastis:

"Sabda Allah tak akan kalah. Betapapun Islam, ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekalipun!"

Suara Nabi mengguntur dahsyat, menggema di bumi, di lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, di kebun-kebun karet, dan berpusar-pusar di laut lepas.

Gaungnya terdengar sampai ke surga, disambut takzim ucapan serentak: "Amien, amien, amien." Neraka guncang, iblis-iblis gemetar menutup telinga.

Aneh bahwa cerita yang divonis hakim sebagai "menghina agama" ini sesungguhnya memihak Islam dalam menghadapi komunisme. Perspektif politiknya moralistis:komunisme dilawan karena tak bertuhan dan sebab itu dekat dengan tak adanya akhlak.

Dalam konteks yang berbeda, sikap yang tersirat dalam "Langit Makin Mendung" akan cepat bertemu dengan pandangan ala Ikhwanul Muslimin. Tapi di Indonesia, tuduhan "menghina agama" dengan gampang diteriakkan dan orang dengan mudah dipojokkan, bahkan dihukum: di antara kita ada sejenis cemas yang laten mungkin paranoia yang selalu risau tentang posisi agama, seakan-akan di tiap saat ada yang mengancamnya. Suara marah kepada cerita "Kipandjikusmin" pada dasarnya ditujukan kepada sisi yang berbeda dari isinya.

Inti cerita "Langit Makin Mendung" adalah perjalanan imajiner Nabi Muhammad dari surga, untuk melihat apa yang salah dalam kehidupan di Indonesia. Ia mengambil prakarsa menulis petisi kepada Tuhan untuk mendapat izin kembali ke bumi. Idenya didukung para "pensiunan nabi" yang bosan di "suargaloka".

Tuhan tak menyangka akan ada permintaan seperti itu.

"Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir…," demikian tertulis di sana.

Deskripsi semacam itulah yang dianggap menghina Tuhan, Nabi, dan Islam juga ketika Tuhan disebut mengenakan kacamata emas dan Nabi menyamar jadi burung untuk leluasa meninjau bumi. Dan H.B. Jassin pun dihukum.

Ini hukuman yang sebenarnya dijatuhkan buat bahasa dan imajinasi. Si hakim mengabaikan kenyataan bahwa orang selalu menggunakan bahasa yang me-manusia-kan Tuhan: "Allah bersabda...", "Allah murka…", "tangan Tuhan"... tanpa kegaduhan. Apalagi, juga dalam "Langit Makin Mendung", jika disebut dengan hormat.

Bahasa, sebuah kancah yang tak stabil yang membentuk pengetahuan manusia, tak pernah pasti dan memadai untuk mendeskripsikan pengalaman, apalagi tentang Tuhan. Bahasa tak dihidupkan dengan kepastian, tapi dengan imajinasi.

Dan hanya dengan takabur orang bisa menghukum imajinasi.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

11 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

40 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya