Pasca-Klientelisme dan Stagnasi Demokrasi

Penulis

Umar Mubdi

Selasa, 16 Juli 2019 07:50 WIB

Dua wanita meletakkan sejumlah bunga dalam aksi tabur bunga untuk pejuang demokrasi saat car free day di Bundaran HI, Jakarta, Ahad, 28 April 2019. Acara yang digelar untuk ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau KPPS serta anggota polisi yang meninggal saat bertugas dalam pemungutan suara. TEMPO/Muhammad Hidayat

Umar Mubdi
Kandidat Master International Peace and Conflict Studies, Collegium Civitas Warsawa

Modernisasi telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Hal ini dapat dipahami melalui pemanfaatan istilah modernisasi demokrasi yang mengandung beberapa kriteria, yaitu (i) pembentukan lembaga-lembaga demokrasi yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan adil (Hiariej, 2017), (ii) adanya perimbangan kekuatan antar-kelompok utama (Moore, 1966), dan (iii) kelompok masyarakat sipil dan kelompok subordinat yang performatif (Dietrich Rueschemeyer, et al., 1992).

Dalam hal ini, modernisasi demokrasi di Indonesia baru menunjukkan kemajuan secara formal. Beberapa pakar menyimpulkan modernisasi demokrasi Indonesia mengalami stagnasi (Tornquist, 2015). Penyebabnya adalah praktik klientelisme.

Substansi demokrasi untuk mendistribusikan keadilan seluas-luasnya kepada rakyat, termasuk jaminan persamaan hak atas kesempatan dalam politik, menjadi terdindingi karena praktik klientelisme erat hubungannya dengan oligarki kekuasaan. Tujuan untuk menciptakan demokrasi Indonesia yang konsolidatif terancam gagal karena yang terjadi adalah munculnya bentuk politik baru pasca-klientelisme, yang dapat disimak dengan melihat proses saling mempengaruhi antara populisme dan klientelisme (Hiariej, 2015).

Praktik klientelisme ini ditandai dengan penguasaan sumber daya pada segelintir elite atau patron untuk ditukarkan dengan loyalitas politik klien (Hopkin, 2006). Terdapat paling tidak dua unsur penting dalam praktik klientelisme (Erawan, 2008). Pertama, resiprositas simetris: dua kelompok yang terlibat dalam penyediaan barang dan jasa saling bertukar keuntungan dalam kondisi sukarela atau "pertemanan". Kedua, resiprositas asimetris: hubungan di antara dua kelompok tidak setara. Akibatnya, kelompok yang satu menjadi superior dibanding kelompok yang lain.

Advertising
Advertising

Agaknya, pola klientelisme di Indonesia kini berubah dari vertikal menjadi horizontal. Perbedaannya terletak pada pola hubungan yang tidak lagi hierarkis, melainkan lebih demokratis (Hopkin, 2006). Patron masih menguasai sumber daya, tapi klien tidak lagi bergantung pada patron, terutama dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka. Klien menjadi lebih bebas untuk mengakumulasi kepentingan dan aspirasinya.

Kemunculan Joko Widodo (Jokowi) dianggap sebagai keberhasilan rakyat menuntut perubahan dan mematahkan kekuasaan oligarki melalui demokrasi. Hal ini dapat dipahami dari latar belakang Jokowi yang bukan dari keluarga politikus, konglomerat, sosial-keagamaan, atau faktor sosial lain yang mengindikasikan golongan elite.

Namun, karena apresiasinya yang tinggi terhadap demokrasi sekaligus momentum antitesis dari presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono, yang terkesan formalistik, Jokowi berhasil menampilkan gaya politik populis dan mengantarkannya sebagai presiden. Jokowi juga mengkombinasikannya dengan model klientelisme yang tidak konvensional melalui program kesejahteraan, seperti kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial, sebagai perekat tuntutan sebagian besar rakyat.

Meski kalah dalam pemilihan umum, populisme Prabowo lebih kental secara ontologis dan janji kampanyenya sebagian besar berbicara tentang masalah distribusi kesejahteraan. Prabowo hendak menampilkan diri sebagai sosok karismatik, tegas, nasionalis, dan dekat dengan rakyat.

Sebagai pemimpin populis, Prabowo juga memainkan wacana kesejahteraan. Dia, misalnya, mengkritik "kebocoran" kekayaan Indonesia ke luar negeri karena investasi asing dinilai tidak menghasilkan distribusi kesejahteraan kepada rakyat. Sentimen-sentimen semacam itu tumbuh dari tuntutan golongan pro-perubahan, yang kemudian efektif digunakan oleh Prabowo untuk menguji konsistensi elite penguasa.

Lantas, sejauh mana implikasi pasca-klientelisme terhadap demokrasi modern di Indonesia setelah pemilihan presiden 2019? Ada beberapa catatan. Pertama, muncul kekhawatiran populisme akan merusak demokrasi modern dengan beberapa asumsi, yakni pola relasi vertikal yang akan berujung pada totalitarianisme, janji pemenuhan tuntutan yang cenderung utopis, dan kecenderungan adanya ketidakpatuhan terhadap rule of law (Crabtree, 2000).

Kedua, populisme merupakan bagian dari politik modern yang tidak terhindarkan. Namun kekhawatiran tersebut tak perlu berujung jauh karena dalam demokrasi yang mapan, setidaknya di Indonesia, terdapat pembatasan antar-aktor berupa checks and balances.

Ketiga, populisme Indonesia hanya sebatas praktik politik untuk memenangi pemilihan tanpa mempengaruhi konstitusi atau mencederai institusi demokrasi. Meski terdapat beberapa ekses, tidak ada kekerasan yang signifikan mencederai demokrasi.

Keempat, pasca-klientelisme adalah alarm bagi negara untuk segera menyelesaikan persoalan kesejahteraan dengan pendistribusian sumber daya yang berkeadilan. Partai politik juga harus melakukan perbaikan sistem kaderisasi agar pendidikan politik di masyarakat menjadi lebih baik dan dapat melahirkan aktor alternatif untuk menghentikan lingkaran oligarki.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

10 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

39 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya