Islam?

Kamis, 27 Juni 2019 11:30 WIB

Di sebuah makan malam di Universitas Princeton, seorang filosof terkemuka Eropa duduk di sebelah seorang ilmuwan muslim. Muslim ini minum segelas anggur, dengan nyaman. Melihat itu, filosof Eropa itu bertanya: “Anda anggap diri Anda muslim?” “Ya,” jawab yang ditanya. “Tapi kok minum anggur?” Si muslim tersenyum manis. “Keluarga saya semua muslim sejak seribu tahun lalu,” katanya, “dan selama itu kami minum anggur.” Sang filosof Eropa tampak bingung. “Saya tak paham,” katanya. “Ya, saya tahu,” kata si muslim. “Tapi saya paham.”
Anekdot ini saya ambil dari buku What is Islam?: The Importance of Being Islamic, sebuah buku yang kaya dalam riset dan tajam dalam telaah, dan ditulis dengan memikat oleh Shahab Ahmed.
Shahab Ahmed, penelaah sejarah pemikiran Islam di Universitas Harvard, adalah keturunan Pakistan yang lahir dan besar di Singapura. Dalam usia yang tak panjang (1966 2015) ia sudah dikenal di kalangan studi Islam di dunia. Dengan kemampuan dalam 15 bahasa, jangkauannya luas: dalam What is Islam? ia menggali bahan lama dan baru dari pelbagai penjuru bumi, terutama di “bentangan dari Balkan ke Bangali”. Tanpa menyebut khazanah Islam di Nusantara, apa yang dicoba dipaparkannya menyangkut kita semua: seorang muslim, dalam membahas Islam, tak perlu menghalau kontradiksi di dalam Islam itu sendiri.
Shahab mengutip sajak Walt Whitman:

Do I contradict myself?
Very well, then, I contradict myself.
(I am large, I contain multitudes.)

Islam luas, secara geografi, sejarah, bahasa, dan pemaknaan. Dalam aneka ragam itu, apa salahnya jika ia mengandung kontradiksi, pandangan, dan pikiran yang ambigu?
Dalam hal minum anggur, misalnya. Shahab seorang penggemar wine menggambarkan bagaimana ghazal Hâfiz, penyair besar Iran di abad ke 14, dibacakan dalam pertemuan: dengan anggur yang direguk seraya menggemakan cinta kepada Yang Maha Pengasih.
Shahab juga mengutip Kitâb maâli al abdân wa al anfus (“Kesejahteraan Jiwa dan Raga”) yang ditulis Ab Zayd al Balkhî (849 943). Bagi Ab Zayd, anggur adalah “minuman terbaik” yang pernah dibuat manusia. “Paling unggul komposisinya, dan paling bermanfaat,” asalkan tak berlebihan anjuran yang kini diterima dunia kesehatan.
Juga tak ada satu kata dalam hal seni rupa. Banyak ulama dengan tegas melarang kita membuat gambar atau patung makhluk hidup mungkin mengikuti ajaran Yahudi. Tapi kita kenal karya karya potret yang menakjubkan dari zaman Turki, Persia, dan India. Shahab menampilkan âdiqî Bçg Afshâr (1533 1610), penulis Qânn u uvar yang juga pelukis potret. Iamenyatakan, “Aku menjangkau ke Makna, dari wajah Sang Sosok.”
Bagi âdiqî, meraut wajah dalam batu, kayu, dan kertas adalah melampaui batas material untuk menjangkau makna yang lebih tinggi.
Tapi apa yang “islami” dalam sikap itu?
Ibnu Sina, pemikir abad ke 11, dikecam Al Ghazali, tokoh yang dihormati sebagai ujjat al Islâm (“Bukti Islam”). Dalam Tahâfut al Falâsifah yang termasyhur, Ibnu Sina dinilai sebagai “kafir”. Pandangannya tentang kejadian alam semesta, yang dipengaruhi Aristoteles, jadi problematis jika dipertemukan dengan keyakinan Islam umumnya. Tapi benarkah ia bukan Islam?
Ibnu Sina menulis:

Tak gampang menyebutku tak beriman
Imanku lebih berdasar ketimbang iman lain
Di masaku, aku tak dapat dibandingkan
Jika aku kufur, tak ada lagi orang yang bisa disebut muslim

Bagaimana kontradiksi itu bisa ditandai dengan satu nama, “Islam”? What is Islam?
Buku Shahab mencoba menjawab: ada teks Quran, Hadith, dan hukum hukum yang mengacu ke sumber itu. Tapi ada juga “prateks”, nilai dan pengetahuan universal yang bergaung sebelum Quran. Kemudian ada karya, pengalaman, dan perilaku orang orang Islam mereka yang membaca kalimat syahadat tapi pada saat yang sama, karena sejarah bergerak, tak selalu berhenti pada kodifikasi yang selesai.
Ada rasa cemas kepada yang tak selesai. Sekitar dua abad setelah Nabi wafat, tumbuh ortodoksi: agar tak simpang siur, ditegaskan bahwa ajaran yang “resmi” adalah satu satunya kebenaran. Dalam Before Orthodoxy: The Satanic Verses in ­Early Islam, buku Shahab yang lain, ia mengutip Talal Asad: ortodoksi adalah hubungan kekuasaan; sejarahnya adalah usaha membentuk dan mempertahankan sebuah kebenaran, buat jadi pegangan yang kukuh bagi semua.
Teks pun jadi hukum yang tak mengizinkan ambiguitas. Satu kasus yang dianggap “sama” akan dianggap identik; perbedaan harus ditepis. Untuk mengatasi kecemasan akan ambiguitas, agama jadi konstruksi sosial politik. Dan dalam benturan dengan kolonialisme sejak abad ke 18, konstruksi itu jadi identitas.
Kita tahu, identitas dirumuskan untuk menandai bahwa “kami Islam”. Mirip KTP kolektif. Tapi seperti KTP, identitas menyederhanakan yang ditandai.
Syahdan, ketika agama jadi identitas, manusia berjalan dengan setengah bermimpi: mimpi tentang persatuan yang tak pernah tercapai, frustrasi karena perbedaan perbedaan yang dianggap menakutkan.
Goenawan Mohamad

Advertising
Advertising

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

7 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

36 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya