Hari-hari ini proses demokrasi terkesan begitu menakutkan. Ancaman pengerahan massa disebar melalui berbagai media, yang kemudian direspons dengan mobilisasi pasukan besar-besaran oleh aparat keamanan. Semua itu justru dilakukan pada ujung proses: penetapan hasil pemilihan presiden pada 22 Mei ini.
Pemilihan presiden, yang tahun ini dilaksanakan serentak bersama pemilihan anggota badan legislatif, semestinya merupakan hajatan demokrasi biasa. Peristiwa lima tahunan ini dilakukan sebagai metode sirkulasi kepemimpinan nasional. Kali ini menjadi tidak biasa karena kubu penantang, yakni pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang tertinggal dalam hasil sementara perolehan suara, mengeluarkan ancaman intimidatif kepada penyelenggara pemilu.
Kubu Prabowo-Sandi menuduh ada kecurangan pemilu yang sistematis, masif, dan terstruktur. Mereka mendasarkan tuduhan pada setidaknya dua hal, yakni data pemilih tetap yang mereka sebut mengandung 6,1 juta nama ganda plus 18 juta nama invalid serta kesalahan input pada sistem informasi penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum. Dengan basis itu, mereka menyatakan akan menolak hasil pemilihan sembari mengajak pendukungnya menggelar demonstrasi besar-besaran.
Sayangnya, mereka juga menyatakan tidak akan mempersoalkan hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi, lembaga yang diatur konstitusi untuk menangani permasalahan itu. Mereka berdalih bahwa Mahkamah tak bisa dipercaya karena lima tahun laluketika Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasajuga tidak menangani kecurangan yang sama. Di sinilah proses politik yang seharusnya sederhana menjadi pelik. Penyebabnya adalah kubu Prabowo menyatakan tidak menggunakan aturan main yang sudah disepakati bersama.
Keberatan kubu Prabowo bukannya diabaikan begitu saja. Dalam kesalahan input pada sistem informasi penghitungan suara, Badan Pengawas Pemilihan Umum telah memerintahkan agar KPU memperbaikinya. Meski demikian, sistem itu sebenarnya hanya berfungsi sebagai alat kontrol dan informasi publik. Kenyataannya, selisih perolehan kedua kubu hingga kemarin memang sangat jauh, yakni lebih dari 15 juta suara.
Ajakan provokatif semacam "people power" jelas tidak menghargai proses demokrasi, yang walaupun punya kelemahan merupakan cara terbaik dalam bernegara. Ancaman-ancaman itu pun telah merugikan publik. Bukan hanya keresahan dan ketakutan yang muncul, tapi juga kerugian yang lebih substansial pada hak-hak sipil. Misalnya, respons pemerintah, yang antara lain membentuk tim untuk kemudian menangkapi mereka yang bersuara kritis di media sosial, bisa dianggap merugikan kebebasan berpendapat.
Kerugian lain timbul di sektor ekonomi. Sebagian pengusaha menunda keputusan bisnis sembari menunggu perkembangan situasi. Dalam sepekan terakhir, indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia anjlok 6,16 persen. Kurs rupiah melorot 0,87 persen lantaran sebagian investor khawatir dan memutuskan keluar dari pasar. Sejumlah kedutaan besar negara pun merilis peringatan keamanan kepada warganya yang berkunjung ke Indonesia. Sektor pariwisata sedikit-banyak pasti terganggu oleh peringatan keamanan itu.
Untuk mencegah kerugian semakin besar, tak ada jalan lebih baik bagi Prabowo dan pendukungnya selain menaati sistem demokrasi kita.