Selamatkan Komisi Yudisial

Penulis

Selasa, 14 Mei 2019 07:00 WIB

Ketua Gerakan Muda Partai Golkar (GMPG)Ahmad Doly bersama dengan Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari melakukan pertemuanuntuk menindaklanjuti dugaan pertemuan Ketua DPR Setya Novanto dengan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali dalam sidang disertasi Adies Kadir di Komisi Yudisial, Jakarta, 20 Agustus 2017. TEMPO/Kartika Anggraeni

SUNGGUH ironis jika lembaga yang bertanggung jawab mengawasi ketaatan para hakim terhadap pedoman etik justru terjerembap ihwal penegakan etik. Percaya atau tidak, itulah yang kini terjadi pada Komisi Yudisial. Lembaga itu terpuruk akibat konflik internal tak berkesudahan yang berawal dari dugaan pelanggaran etik beberapa pemimpinnya.

Kekisruhan dimulai ketika pada awal 2017 komisioner Komisi Yudisial, Sumartoyo, mendesak koleganya membuka kembali perkara dugaan pelanggaran etik hakim yang menangani kasus penggelapan dana Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada senilai Rp 4,7 triliun. Kasus ini sebenarnya sudah ditutup komisioner periode sebelumnya. Usut punya usut, sebelum menjadi komisioner, Sumartoyo adalah kuasa hukum 79 nasabah Cipaganti yang terlibat dalam perkara itu. Tindakan Sumartoyo jelas bernuansa konflik kepentingan.

Konflik makin parah ketika terkuak informasi bahwa Sumartoyo kerap bertemu dengan Mahkamah Agung tanpa setahu komisioner lain. Dikhawatirkan rapat diam-diam itu membahas kasus-kasus pelanggaran etik hakim yang sedang diproses di Komisi Yudisial. Apa pun alasannya, tindakan Sumartoyo berpotensi melanggar pedoman etik pimpinan Komisi Yudisial. Anehnya, entah kenapa, dua kasus Sumartoyo tak pernah ditindaklanjuti Ketua Komisi Yudisial.

Tak jelasnya penyelesaian kasus Sumartoyo bisa jadi terkait dengan fakta ini: bukan hanya dia yang dituding lancung. Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari juga diduga melanggar etik. Tanpa mengajukan pengunduran diri, pada awal tahun ini, dia melamar menjadi calon hakim Mahkamah Konstitusi. Meski upayanya kandas, perilaku tak etis Aidul juga semestinya ditindaklanjuti.

Sudah seharusnya dugaan-dugaan pelanggaran etik di atas diselesaikan lewat pembentukan majelis etik di Komisi Yudisial. Anggotanya bisa diambil dari advokat ternama, mantan komisioner Komisi Yudisial, dan mantan hakim yang rekam jejaknya tak tercela. Persidangan di majelis itu bisa memastikan ada-tidaknya pelanggaran etik para pemimpin Komisi Yudisial.

Advertising
Advertising

Keberadaan majelis etik ini makin urgen karena tak jelasnya penyelesaian kasus Sumartoyo dan Aidul membuat hubungan antarkomisioner memanas. Berlarut-larutnya penanganan kasus-kasus etik ini membuat para pemimpin Komisi Yudisial tak bisa bekerja sama. Mereka disebut-sebut terbelah menjadi dua kubu. Ini tentu tidak sehat.

Tak hanya itu. Konflik internal di Komisi Yudisial membuat moral pegawai lembaga ini merosot tajam. Selain itu, kinerja pun terpengaruh. Efektivitas pengawasan perilaku hakim jadi dipertanyakan. Bahkan serangan balik para hakim atas kewenangan Komisi Yudisial pun tak dapat direspons dengan baik. Ketika salah satu pemimpin Komisi, Farid Wajdi, diadukan 64 hakim agung ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, lembaga itu tak solid melawan. Padahal Farid hanya menyampaikan fakta bahwa ada pungutan dari Mahkamah Agung untuk para hakim di daerah.

Kondisi ini tak boleh dibiarkan. Peran Komisi Yudisial masih dibutuhkan untuk memperbaiki perilaku para hakim di negeri ini. Sejak 2012, tercatat ada 20 hakim yang terlibat perkara korupsi. Yang terbaru, hakim Kayat dari Pengadilan Negeri Balikpapan digulung Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap, dua pekan lalu. Karena itu, Komisi Yudisial harus segera berbenah. Tanpa komisi ini sebagai pengawas, hakim-hakim nakal bakal kian merajalela. Kalau itu sampai terjadi, publik akan sangat dirugikan.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

7 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

36 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya