Memimpikan (Lagi) Kabinet Bersih

Penulis

Senin, 13 Mei 2019 14:20 WIB

Presiden Jokowi (ketiga kiri) dan Wapres Jusuf Kalla (Ketiga kanan) berfoto bersama Kabinet Kerja yang baru dilantik di Istana Merdeka, Jakarta, 27 Oktober 2014. ADEK BERRY/AFP/Getty Images

INILAH saatnya Presiden Joko Widodo menunjukkan komitmen serius memerangi korupsi. Ia harus segera mengganti sejumlah menteri yang terseret kasus rasuah yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Menunggu mereka berstatus tersangka hanya akan memperlihatkan ketidakpedulian Jokowi terhadap perilaku dan integritas menterinya.

Agenda membersihkan kabinet bahkan jauh lebih mendesak dibanding urusan lain seperti pemindahan ibu kota, yang amat tidak realistis. Soal ini juga lebih penting diselesaikan ketimbang urusan memantau ucapan kubu yang kecewa terhadap hasil pemilihan umum. Jokowi, yang hampir dipastikan memenangi pemilihan presiden 2019, bahkan bisa memanfaatkan "bersih-bersih kabinet" itu sebagai pemanasan untuk menyusun kabinet periode kedua.

Setidaknya ada tiga menteri yang kini berada di pusaran kasus korupsi. Mereka adalah Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, serta Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Ruang kerja ketiga menteri itu sudah digeledah penyidik komisi antikorupsi. Peran mereka pun cukup gamblang. Menteri Nahrawi, misalnya, diduga mengetahui korupsi dana hibah untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia. Jaksa KPK bahkan menyebutkan politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini terlibat permufakatan jahat yang memungkinkan korupsi itu terjadi.

Menteri Lukman Hakim, yang berasal dari Partai Persatuan Pembangunan, pun sulit untuk tidak ikut bertanggung jawab atas kasus jual-beli jabatan di kementeriannya. Kuat diduga ia telah memperdagangkan wewenangnya sebagai pejabat negara. Kasus suap pengangkatan sejumlah pejabat kantor wilayah ini melibatkan Ketua Umum PPP Romahurmuziy, yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Praktik tak elok pun diduga dilakukan Menteri Enggartiasto. Tokoh dari Partai NasDem ini dituding menyuap anggota Dewan Perwakilan Rakyat berkaitan dengan kebijakan gula rafinasi.

Presiden Jokowi semestinya bersikap tegas: meminta menteri yang tidak bersih itu mundur atau langsung menggantinya. Ia tidak perlu rikuh terhadap partai politik pengusung menteri-menteri tersebut. Kalangan partai politik seharusnya menyetop praktik kotor yang selama ini terjadi: memanfaatkan jatah kursi di kabinet untuk mengeruk duit haram. Sebelumnya bahkan sudah ada anggota kabinet Jokowi yang masuk bui: Menteri Sosial Idrus Marham, yang berasal dari Golkar. Ia mundur dari kabinet setelah ditetapkan sebagai tersangka suap proyek korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 pada Agustus tahun lalu.

Advertising
Advertising

Harus diakui, praktik bagi-bagi kursi menteri buat partai politik sulit dihindari dalam sistem politik kita sekarang. Realitasnya, partai-partai berperan mengusung dan memenangkan presiden dalam pemilu. Masuknya wakil partai ke kabinet juga bisa membikin pemerintahan lebih stabil karena akan terjadi komunikasi yang baik dengan parlemen. Hanya, dampak buruk dari bagi-bagi kursi menteri perlu ditekan. Presiden harus meminta partai politik menyodorkan calon menteri yang cakap dan berintegritas untuk kabinet mendatang.

Undang-Undang tentang Kementerian Negara pun memberikan kelonggaran bagi presiden dalam memilih menteri. Itu sebabnya, presiden bisa menentukan pola seleksi sendiri, seperti yang dilakukan Jokowi saat menyusun kabinet pada 2014. Ia melibatkan KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dalam proses awal penyaringan calon menteri.

Pola itu patut dipertahankan demi mendapatkan calon menteri yang bersih, baik dari kalangan partai politik maupun profesional. Hanya, proses pengecekan rekam jejak ini tak boleh cuma basa-basi. Jokowi harus benar-benar memperhatikan rekomendasi kedua lembaga itu. Tanpa kabinet yang bersih, Jokowi akan kesulitan memerangi korupsi, seperti yang dia janjikan dalam kampanye pemilu. Padahal kejahatan keji ini terus menggerogoti hampir semua sendi negara.

Kita tidak bisa membanggakan kenaikan skor negara ini dalam Indeks Persepsi Korupsi 2018 yang dikeluarkan Transparency International. Dari skala 0 (sangat korup) sampai 100 (sangat bersih), Indonesia baru mencapai angka 38, hanya naik satu poin dibanding tahun sebelumnya. Singapura, misalnya, sudah mencapai skor 85, sedangkan Brunei telah meraih angka 63. Kenaikan tipis skor negara kita pun lebih disebabkan oleh faktor kemudahan investasi, bukan karena menurunnya korupsi dalam sistem politik dan pemerintahan.

Pemerintah tidak bisa membebankan urusan mencegah dan memerangi korupsi hanya kepada KPK, yang kini justru kerap diusik, bahkan dilemahkan. Presiden Jokowi harus mengambil peran sentral. Hal ini bisa dimulai dengan cara memilih figur-figur yang cakap dan benar-benar bersih untuk mengisi kabinet periode mendatang.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya