Godaan

Senin, 13 Mei 2019 14:20 WIB

Kita kembali ke dongeng Homeros ke cerita tentang samudra, pelayar, dan para peri laut yang menyanyi, nyanyi yang menyebabkan kematian.

Kata sahibulhikayat, dari pulau tempat hidup para peri laut (orang Yunani lama menamai mereka seiren), makhluk setengah burung setengah manusia itu selalu melantunkan lagu yang merdu, menggoda, mengundang bila ada bahtera yang lewat. Para pelaut yang terbuai akan mendarat di pulau itu. Setiba mereka di sana, angin pun akan mati, laut berhenti, dan ombak jadi rata seperti selembar kaca. Tak lama kemudian, para pendatang akan tewas, seketika, serentak.

Syahdan, di pulau suram itu bertimbun tulang-belulang manusia, sisa mereka yang terbujuk, datang, mati, dari abad ke abad.

Odiseus, Raja Ithaka, yang pulang dari Perang Troya, mendengar cerita itu. Maka ketika bahteranya melewati pulau para seiren, ia seorang pemberani dan cerdik bersiap. Ia ingin mendengarkan nyanyian para peri yang menakjubkan, tapi ia tak ingin terbujuk mendarat. Ia pun memerintahkan puluhan kelasi yang mendayung kapalnya menutup kuping rapat-rapat. Mereka tak boleh terbuai. Odiseus sendiri membiarkan telinganya bebas tapi meminta agar tubuhnya diikat erat ke tiang agung, hingga ia tak bisa terjun, karena tergoda, ke pulau itu.

Ia berhasil. Ia melalui pulau itu dengan selamat dan sempat menikmati suara para seiren. Berabad-abad orang mengagumi Odiseus sebagai teladan hati yang teguh dan kecerdasan yang sukses. Ia manusia yang dengan akalnya mengalahkan misteri alam. Ia survive menembus pelbagai pengalaman dalam perjalanan lautnya subyek yang satu dan utuh yang menaklukkan yang ganjil, berbeda-beda, di luar dirinya.

Advertising
Advertising

Tapi di abad ke-20 yang resah dan ragu, tokoh ini tampak lain. Abad itu (juga abad ini) membawa pencerahan, unggulnya rasio, perkembangan teknologi, dan modal. Tapi ada sisi lain: abad itu juga membawa kebiadaban. Bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, jutaan orang dibasmi di kamar gas dan disekap dalam kamp konsentrasi, jutaan lain ditindas totalitarianisme dan diisap kapitalisme. Dari sana dongeng Homeros mendapatkan tafsir baru.

Para peminat sejarah pemikiran akan ingat yang ditulis Adorno dan Horkheimer dalam Dialektik der Aufklärung ("Dialektika Pencerahan") yang terbit pada 1944: Odiseus sebenarnya sebuah teladan yang gelap.

Ia memang tampak sebagai diri yang selamat dari ketidakpastian petualangan. Ia bukan obyek nasib dan alam yang misterius. Ia subyek yang melawan itu. Ia melawan dengan cerdik, dan cerdik adalah fungsi rasio.

Tapi tekad dan kecerdikan (List) itu juga yang menyertai kapitalisme dan kekuatan mesin dan politik yang mengalahkan apa saja yang bukan dirinya. "Odiseus, sang penjelajah laut," tulis Adorno dan Horkheimer, "mengalahkan dengan mengakali dewa-dewi alam sebagaimana pelancong dari dunia yang beradab menipu suku-suku liar dengan menawarkan merjan untuk ditukar dengan gading."

Tak boleh dilupakan, Odiseus berhasil juga karena ia memaksa para pendayung kapalnya tak ikut mendengarkan nyanyian; hanya dia yang berhak. Yang lain diasumsikan tak ada. Ia Robinson Crusoe di pulaunya. Kapalnya mirip sebuah pabrik yang para buruhnya tak diberi hak memilih intermezo yang asyik. Sang raja ibarat majikan yang memaksakan disiplin kepada para pekerja agar tujuan usaha tercapai. "Mereka yang bekerja," tulis Adorno & Horkheimer, "dipaksa buat menatap ke muka, penuh energi dan terfokus, mengabaikan apa saja yang di samping mereka."

Tentu, sang penguasa akan berdalih: para pekerja itu ia "selamatkan" dari godaan bernikmat-nikmat. Kenikmatan adalah pengacau. Agama-agama juga mengajarkan itu: tubuh, yang merasakan nikmat, harus berpuasa.

Dan Odiseus akan bisa berkata, "Lihat, aku sendiri terikat." Tapi mungkin ia tak akan mengakui bahwa membiarkan dirinya terikat adalah sebuah proteksi. Menahan diri dari godaan seperti itu bukan pengorbanan, melainkan siasat melindungi diri untuk tak terkena mala, untuk akhirnya bisa mendapat pahala atau hasil yang menyenangkan. Dengan kata lain, ada kalkulasi. "Sang pengelana yang bersenjatakan kecerdikan adalah homo economicus sejak awal," kata Adorno & Horkheimer. Odiseus seorang borjuis.

Maka seperti investor, Odiseus mula-mula mengendalikan dengan mengikat diri keinginannya. Ia mengalah, sebelum tampil sebagai pemenang. Sukses dan kegemilangannya didahului siasat: dorongan untuk mencapai "kebahagiaan yang utuh, semesta, seluruhnya" seakan-akan ia abaikan, ia anggap remeh.

Sementara itu, kupingnya terbuka….

Apa sebenarnya hasratnya? Memperoleh kenikmatan tanpa risiko yang fatal? Mendapatkan pahala dan keuntungan sendiri, tanpa berbagi?

Hasrat tak punya makna yang menetap. Hasrat adalah satu "métonymie", kata Lacan. Ia kita kenali dengan satu penanda yang juga mengacu ke penanda lain; maknanya terus-menerus tak selesai.

Akhirnya Odiseus adalah cerita hasrat yang tak bisa didefinisikan. Seperti sejarah keserakahan manusia.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya