Politik Jalan Buntu Prabowo

Penulis

Kamis, 9 Mei 2019 07:20 WIB

Calon Presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto menyapa para awak media usai memberikan keterangan pers terkait situasi dan kondisi terkini pasca Pemilu di kediaman Kertanegara 4, Jakarta, Rabu, 8 Mei 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis

KLAIM kemenangan kubu calon presiden Prabowo Subianto bisa berbahaya jika diikuti tindakan-tindakan anarkistis. Senin malam lalu, di depan perwakilan media asing, dia menyatakan tidak akan menerima hasil pemilihan presiden 2019 jika dinyatakan kalah.

Berdasarkan sistem informasi penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum, yang mencapai 70,83 persen suara kemarin, Jokowi-Ma’ruf Amin meraih 56,24 persen dan Prabowo-Sandiaga 43,76 persen. Angka itu tidak jauh berbeda dari hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei yang mengunggulkan Jokowi-Amin dengan selisih sekitar 9 persen.

Prabowo sebelumnya mendeklarasikan diri sebagai presiden pilihan rakyat dengan perolehan 62 persen suara. Lalu kubunya menuding Komisi Pemilihan Umum melakukan "kecurangan yang terstruktur, sistematis, masif, dan brutal" untuk memenangkan Jokowi. Terakhir, muncul Ijtima Ulama III yang merekomendasikan KPU untuk mendiskualifikasi Jokowi-Amin dari pemilihan presiden.

Tuduhan semacam itu semestinya disalurkan melalui lembaga yang tepat, yakni Mahkamah Konstitusi. Kenyataannya, kubu Prabowo meneriakkannya tanpa bukti memadai. Mereka hanya menyebut kesalahan input dalam sistem hitung, walau sebenarnya kecil dan jumlahnya jauh dari ketertinggalan suara Prabowo-Sandiaga. Kesalahan pun sudah dikoreksi oleh KPU.

Prabowo seolah-olah menegasikan sistem yang ada. Ia mengajak pendukungnya untuk terus mendelegitimasi kerja KPU. Jika terus berlanjut, ujungnya adalah politik jalan buntu. Di sinilah bahaya yang bisa muncul.

Advertising
Advertising

Pada sisi lain, pemerintah terpancing untuk mengambil langkah yang berlebihan. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto sampai membentuk Tim Hukum Nasional untuk mengkaji ucapan para tokoh terkait dengan pemilihan umum dan pemilihan presiden. Pemerintah terkesan mengalami fobia terhadap pandangan yang berbeda. Sempat menyatakan akan menutup media massa yang membantu penghasutan, Wiranto lalu mengklarifikasi bahwa itu hanya berlaku pada media sosial.

Pada hari yang sama, Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian mengancam akan menerapkan pasal makar kepada orang-orang yang terlibat pengerahan massa untuk mempersoalkan hasil pemilu. Yang dimaksud adalah Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan pasal peninggalan Belanda ini memang dapat menyeret aktivitas politik sebagai pelanggaran hukum berat dengan ancaman penjara 15 tahun atau seumur hidup.

Respons pemerintah dan orang di sekitar Jokowi jelas berlebihan. Tensi politik yang meninggi setelah pemilihan umum merupakan hal biasa. Perang opini haruslah dilihat sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Presiden Jokowi seharusnya mengajak bawahannya untuk berpegang pada ucapan awal, yakni semua pihak bersabar menunggu hasil penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum pada 22 Mei mendatang.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya