Drama Impor Gula

Kamis, 9 Mei 2019 07:19 WIB

Petani tebu dari berbagai daerah di Indonesia menaburkan gula import saat aksi demo didepan istana negara, 28 Agustus 2017. Petani tersebut menuntut harga gula yang merosot tajam rata-rata Rp 9.000-9.500/kg, jauh dibandingkan tahun 2016 yang rata-rata Rp 11.000-11.500/kg. TEMPO/Rizki Putra

Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari-November 2018, impor gula mencapai 4,6 juta ton atau meningkat dibanding periode yang sama pada 2017 yang sebesar 4,48 juta ton. Atas data tersebut, Indonesia berada di urutan pertama negara pengimpor gula terbesar di dunia pada periode 2017-2018 dengan volume impor 4,45 juta ton. Indonesia mengungguli Cina, yang berada di posisi kedua dengan 4,2 juta ton, dan Amerika Serikat dengan 3,11 juta ton.

Tak pelak, ekonom seperti Faisal Basri akhirnya berteriak di ruang publik. Dia merasa heran akan kenaikan impor yang signifikan pada periode tersebut. Padahal saat itu tidak ada kenaikan konsumsi gula yang tinggi walaupun ada penurunan produksi di dalam negeri. Karena impornya tinggi, stok gula nasional semakin banyak. Maka dapat dipahami mengapa Faisal mencurigai lonjakan impor tersebut berkaitan dengan praktik renten para mafia yang menguasai pasar.

Siasat pemerintah pun terlihat cukup tricky. Dengan dalih untuk melindungi produsen gula dalam negeri, pemerintah justru menyiasatinya dengan membuat pengkategorian jenis gula, yakni gula kristal rafinasi (GKR) untuk industri dan gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi masyarakat. Padahal impor gula hanya untuk pemenuhan GKR untuk industri. Namun, dalam perkembangannya, GKR justru juga digunakan untuk instrumen stabilisasi harga konsumen.

Sengkarut ini berawal saat Kementerian Perindustrian menargetkan kebutuhan industri atas gula rafinasi sebesar 2,8 juta ton, sementara Kementerian Perdagangan hanya memberikan kuota impor sebanyak 3,6 juta ton. Kuota tersebut dibagi dalam dua semester, yakni semester I sebesar 1,73 juta ton dan semester II sebesar 1,87 juta ton. Namun, realisasinya, pada semester I 2018 kuotanya hanya mencapai 1,56 juta ton. Hal tersebut menggambarkan industri tidak membutuhkan gula rafinasi sebanyak yang direncanakan pada awal 2018. Akhirnya, Kementerian Perdagangan merevisi kuota, dari 3,6 juta ton menjadi 3,15 juta ton.

Advertising
Advertising

Namun, pada semester II, kuota impor justru melejit hingga realisasi pada akhir 2018 tercatat 3,37 juta ton. Meskipun masih memenuhi kuota awal impor sebesar 3,6 juta ton, kuota ini meleset dari target revisi tengah tahun sebanyak 3,15 juta ton. Realisasi itu di luar impor gula untuk konsumsi sebesar 1,01 juta ton. Jadi, kemungkinan besar gula yang diimpor tidak hanya digunakan untuk kebutuhan industri, tapi juga kebutuhan konsumsi dalam negeri.

Sejauh ini, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan masih bertahan dengan alasan kekurangan stok di dalam negeri. Menteri Perdagangan mengakui permintaan impor gula industri terus meningkat setiap tahun. Peningkatan volume impor gula industri tersebut dipicu oleh permintaan dari industri yang juga tumbuh. Lucunya, Menteri justru ikut menyudutkan produksi gula dalam negeri karena kuantitasnya tidak memenuhi kebutuhan. Kualitasnya pun tidak bisa diterima oleh industri karena kadar gula tidak sesuai dengan kebutuhan industri makanan dan minuman.

Menurut Menteri, berdasarkan standar internasional, kadar gula Indonesia memiliki tingkat International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis yang tinggi. Sementara itu, gula yang dibutuhkan untuk industri makanan dan minuman harus berasal dari level rendah. Logika tersebut kemudian menjadi latar kenaikan permintaan impor gula industri.

Memang, bila kita telusuri kemampuan produksi gula nasional, ternyata kapasitasnya terus merosot dan lahan tebu terus berkurang. Pada sekitar 2014, masih ada lahan tebu seluas 450 ribu hektare tapi merosot menjadi 425 ribu hektare pada 2016. Pada 2017 turun lagi menjadi 420 ribu hektare. Dengan penurunan lahan tersebut, produksi gula nasional ikut merosot. Pada 2014, produksi gula nasional mencapai 2,5 juta ton, tapi turun menjadi 2,4 juta ton pada 2015; 2,2 juta ton pada 2016; dan 2,1 juta ton pada 2017.

Ini mengakibatkan produksi gula bahkan tak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi gula nasional. Pada 2018, misalnya, kebutuhan konsumsi tercatat sekitar 3,2 juta ton, tapi total produksi diperkirakan hanya 2,1 juta ton. Hal ini dapat merasionalkan kebijakan impor gula. Namun jumlah impor terus membengkak, dan terkadang utak-atik angka impor yang dibutuhkan terkesan sangat dipaksakan.

Sebelum terus bergantung pada impor, pemerintah perlu menunjukkan sikap dan kebijakan strategis yang serius. Kebijakan impor sejatinya sebagai pertahanan terakhir setelah pemerintah kehabisan napas dalam menopang produksi gula nasional. Apakah pemerintah sudah berada di posisi itu? Tampaknya tidak. Sedari awal pemerintah semestinya sudah memahami kapasitas produksi gula nasional terus turun, tapi pemerintah justru tak mengambil langkah strategis yang berarti untuk mengantisipasinya.

Tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengetahui penurunan kapasitas produksi nasional masing-masing komoditas tersebut. Namun pada akhirnya kebutuhan atas kebijakan impor dianggap rasional secara matematis dan politis.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

3 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

12 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

41 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya