Membangun Pasar Surat Berharga Komersial

Penulis

Haryo Kuncoro

Selasa, 7 Mei 2019 07:37 WIB

Presiden Jokowi menyampaikan sambutan dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2018 di Jakarta, Selasa, 27 November 2018. Pertemuan tahunan 2018 digelar dengan mengambil tema "Sinergi untuk Ketahanan dan Pertumbuhan." ANTARA/Puspa Perwitasarii

Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic and Educational Business Institute Jakarta

Selama dua bulan berturut-turut, rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) menelurkan kebijakan relaksasi. Pertama, pada Maret lalu, BI mengendurkan rasio intermediasi makroprudensial (RIM), dari 80-92 persen menjadi 84-94 persen, yang akan efektif berlaku mulai 1 Juli mendatang.

Urgensi pelonggaran RIM semakin nyata. Pertumbuhan kredit pada Februari 2019, misalnya, tercatat 12,1 persen. Sementara itu, pertumbuhan dana pihak ketiga pada periode yang sama hanya 6,6 persen, naik selapis tipis dibanding pertumbuhan pada Januari 2019 sebesar 6,4 persen.

Angka-angka itu sudah gamblang menjelaskan pertumbuhan dana pihak ketiga yang senantiasa lebih rendah daripada pertumbuhan kredit. Jika hal ini terus berlangsung, ruang gerak perbankan semakin sempit, sehingga kemampuan memasok kredit kepada korporasi pun akan terbatas.

Kedua, pada periode April, BI memberi kelonggaran kepada korporasi untuk menerbitkan surat berharga komersial (SBK) alias commercial papers sebagai alternatif sumber pendanaan jangka pendek.

Advertising
Advertising

Benang merah dari kedua kebijakan tersebut ialah BI hendak mengoptimalkan kebijakan makroprudensial saat kebijakan moneter masih ketat. "Jamu pahit" masih tingginya suku bunga acuan akan dinetralkan dengan "jamu manis" pelonggaran likuiditas.

Dengan alur logika ini pula, BI berupaya untuk menyeimbangkan kembali sisi pemasok dengan pengguna dana. Walhasil, keterbatasan likuiditas perbankan dalam memasok kredit kepada korporasi akan disiasati dengan mengalihkan pemenuhan kebutuhan dananya ke SBK.

Dalam pandangan BI, kebijakan relaksasi pembiayaan bagi korporasi akan memacu aktivitas ekonomi sektor riil. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan mampu menciptakan dorongan cukup kuat untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019 berada pada interval 5-5,4 persen.

Ekspansi usaha korporasi masih mengandalkan dana sebesar 70 persen dari kredit perbankan serta 30 persen sisanya dari pasar modal dan sumber keuangan luar negeri. Dengan demikian, relaksasi korporasi untuk menerbitkan SBK menjadi angin segar di tengah kesulitan mendapatkan tambahan modal dari perbankan.

Namun masuknya sektor korporasi di pasar keuangan meninggikan tensi persaingan dalam memperebutkan dana. Perbankan dan industri keuangan non-bank dalam statusnya sebagai korporasi juga gencar berburu dana. Pemerintah pun getol menjual surat utang negara untuk menutup defisit APBN.

Akibatnya, masing-masing penjual sekuritas (issuer) terpaksa menaikkan imbal hasil sebagai insentif bagi pemilik dana pemegang issuance. Maka, perang imbal hasil menjadi keniscayaan. Kompetisi perebutan dana yang meninggi ini akan berdampak pada semakin mahalnya biaya dana.

Pemain lama yang paling terkena imbas adalah perbankan. Dari sisi hulu, perbankan menghadapi risiko migrasi dana dari deposito menuju SBK. Dari sisi hilir, jika suku bunga SBK lebih murah daripada kredit, perusahaan debitur bisa lari ke instrumen SBK, alih-alih mencairkan kredit dari perbankan.

Jadi, pokok persoalan SBK adalah posisinya. Pasar SBK belum solid terbentuk untuk semua tenor. BI harus membangun lebih dulu tipologi pasarnya. Ketiadaan pasar yang mampu menyediakan wadah untuk bertransaksi SBK potensial berefek bumerang bagi semua pelaku pasar keuangan.

SBK diterbitkan dengan tenor sampai dengan 1 tahun. Misalnya, kebutuhan korporasi untuk tenor 6 bulan, sementara segmen pasar yang eksis hanya untuk tenor 12 bulan. Korporasi terpaksa menerbitkan SKB bertenor 12 bulan dengan konsekuensi harus menanggung opportunity cost memegang uang. Artinya, kaidah efisiensi tidak tercapai.

Transaksi SBK ditentukan melalui mekanisme pasar. Jika terjadi kelebihan penawaran, suku bunga SBK bisa turun drastis. Sebaliknya, jika terjadi kekurangan penawaran, suku bunga SBK bisa melejit. Artinya, suku bunga SBK gagal mengkondisikan suku bunga instrumen keuangan lain yang bertenor sama.

Demikian pula jika terjadi kelebihan likuiditas, pemilik dana akan menaruh dananya pada satu jenis SBK tenor yang dianggap paling "aman". Artinya, SBK menjadi wahana transit dana temporer, alih-alih menempatkan dana bagi kemajuan sektor korporasi. Intinya, pendalaman keuangan yang dibidik SBK tidak tercapai.

Jika kecenderungan ini yang terjadi, daya dorong SBK untuk mempengaruhi pemangkasan suku bunga kredit boleh jadi bakal berkurang. Perbankan kian sulit diharapkan secara agresif menurunkan suku bunga kredit. Jadi, harapan pemerintah untuk menurunkan suku bunga kredit bakal gagal terealisasi.

Untuk itu, pengawasan tetap diperlukan agar terbangun pasar keuangan yang tersegmentasi. SBK hanya boleh diterbitkan oleh perusahaan yang memiliki rekam jejak kualitas kredit yang bagus dan mendapat peringkat layak investasi. Dengan begitu, kredit perbankan tetap memiliki pangsa pasar.

Segmentasi antara pembeli domestik dan asing juga perlu diperhatikan betul. Dengan batasan minimal US$ 1 juta, penerbitan SBK tanpa didukung ketangguhan aspek fundamental korporasi berpotensi mengguncang pasar valuta asing.

Tanpa persiapan yang komprehensif, instrumen SBK bakal kontraproduktif. Penerbitan SBK berpotensi menjadi lahan baru spekulasi alih-alih investasi.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya