Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic and Educational Business Institute Jakarta
Selama dua bulan berturut-turut, rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) menelurkan kebijakan relaksasi. Pertama, pada Maret lalu, BI mengendurkan rasio intermediasi makroprudensial (RIM), dari 80-92 persen menjadi 84-94 persen, yang akan efektif berlaku mulai 1 Juli mendatang.
Urgensi pelonggaran RIM semakin nyata. Pertumbuhan kredit pada Februari 2019, misalnya, tercatat 12,1 persen. Sementara itu, pertumbuhan dana pihak ketiga pada periode yang sama hanya 6,6 persen, naik selapis tipis dibanding pertumbuhan pada Januari 2019 sebesar 6,4 persen.
Angka-angka itu sudah gamblang menjelaskan pertumbuhan dana pihak ketiga yang senantiasa lebih rendah daripada pertumbuhan kredit. Jika hal ini terus berlangsung, ruang gerak perbankan semakin sempit, sehingga kemampuan memasok kredit kepada korporasi pun akan terbatas.
Kedua, pada periode April, BI memberi kelonggaran kepada korporasi untuk menerbitkan surat berharga komersial (SBK) alias commercial papers sebagai alternatif sumber pendanaan jangka pendek.
Benang merah dari kedua kebijakan tersebut ialah BI hendak mengoptimalkan kebijakan makroprudensial saat kebijakan moneter masih ketat. "Jamu pahit" masih tingginya suku bunga acuan akan dinetralkan dengan "jamu manis" pelonggaran likuiditas.
Dengan alur logika ini pula, BI berupaya untuk menyeimbangkan kembali sisi pemasok dengan pengguna dana. Walhasil, keterbatasan likuiditas perbankan dalam memasok kredit kepada korporasi akan disiasati dengan mengalihkan pemenuhan kebutuhan dananya ke SBK.
Dalam pandangan BI, kebijakan relaksasi pembiayaan bagi korporasi akan memacu aktivitas ekonomi sektor riil. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan mampu menciptakan dorongan cukup kuat untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019 berada pada interval 5-5,4 persen.
Ekspansi usaha korporasi masih mengandalkan dana sebesar 70 persen dari kredit perbankan serta 30 persen sisanya dari pasar modal dan sumber keuangan luar negeri. Dengan demikian, relaksasi korporasi untuk menerbitkan SBK menjadi angin segar di tengah kesulitan mendapatkan tambahan modal dari perbankan.
Namun masuknya sektor korporasi di pasar keuangan meninggikan tensi persaingan dalam memperebutkan dana. Perbankan dan industri keuangan non-bank dalam statusnya sebagai korporasi juga gencar berburu dana. Pemerintah pun getol menjual surat utang negara untuk menutup defisit APBN.
Akibatnya, masing-masing penjual sekuritas (issuer) terpaksa menaikkan imbal hasil sebagai insentif bagi pemilik dana pemegang issuance. Maka, perang imbal hasil menjadi keniscayaan. Kompetisi perebutan dana yang meninggi ini akan berdampak pada semakin mahalnya biaya dana.
Pemain lama yang paling terkena imbas adalah perbankan. Dari sisi hulu, perbankan menghadapi risiko migrasi dana dari deposito menuju SBK. Dari sisi hilir, jika suku bunga SBK lebih murah daripada kredit, perusahaan debitur bisa lari ke instrumen SBK, alih-alih mencairkan kredit dari perbankan.
Jadi, pokok persoalan SBK adalah posisinya. Pasar SBK belum solid terbentuk untuk semua tenor. BI harus membangun lebih dulu tipologi pasarnya. Ketiadaan pasar yang mampu menyediakan wadah untuk bertransaksi SBK potensial berefek bumerang bagi semua pelaku pasar keuangan.
SBK diterbitkan dengan tenor sampai dengan 1 tahun. Misalnya, kebutuhan korporasi untuk tenor 6 bulan, sementara segmen pasar yang eksis hanya untuk tenor 12 bulan. Korporasi terpaksa menerbitkan SKB bertenor 12 bulan dengan konsekuensi harus menanggung opportunity cost memegang uang. Artinya, kaidah efisiensi tidak tercapai.
Transaksi SBK ditentukan melalui mekanisme pasar. Jika terjadi kelebihan penawaran, suku bunga SBK bisa turun drastis. Sebaliknya, jika terjadi kekurangan penawaran, suku bunga SBK bisa melejit. Artinya, suku bunga SBK gagal mengkondisikan suku bunga instrumen keuangan lain yang bertenor sama.
Demikian pula jika terjadi kelebihan likuiditas, pemilik dana akan menaruh dananya pada satu jenis SBK tenor yang dianggap paling "aman". Artinya, SBK menjadi wahana transit dana temporer, alih-alih menempatkan dana bagi kemajuan sektor korporasi. Intinya, pendalaman keuangan yang dibidik SBK tidak tercapai.
Jika kecenderungan ini yang terjadi, daya dorong SBK untuk mempengaruhi pemangkasan suku bunga kredit boleh jadi bakal berkurang. Perbankan kian sulit diharapkan secara agresif menurunkan suku bunga kredit. Jadi, harapan pemerintah untuk menurunkan suku bunga kredit bakal gagal terealisasi.
Untuk itu, pengawasan tetap diperlukan agar terbangun pasar keuangan yang tersegmentasi. SBK hanya boleh diterbitkan oleh perusahaan yang memiliki rekam jejak kualitas kredit yang bagus dan mendapat peringkat layak investasi. Dengan begitu, kredit perbankan tetap memiliki pangsa pasar.
Segmentasi antara pembeli domestik dan asing juga perlu diperhatikan betul. Dengan batasan minimal US$ 1 juta, penerbitan SBK tanpa didukung ketangguhan aspek fundamental korporasi berpotensi mengguncang pasar valuta asing.
Tanpa persiapan yang komprehensif, instrumen SBK bakal kontraproduktif. Penerbitan SBK berpotensi menjadi lahan baru spekulasi alih-alih investasi.