Kompensasi bagi Korban Terorisme

Selasa, 7 Mei 2019 07:00 WIB

Polisi bersenjata berjaga di lokasi terjadinya ledakan yang diduga bom saat penggerebekan terduga teroris di kawasan Jalan KH Ahmad Dahlan, Pancuran Bambu, Kota Siboga, Sumatera Utara, Selasa, 12 Maret 2019. Peristiwa ini terjadi saat polisi hendak menangkap pelaku terduga tindak pidana terorisme, Husain alias Abu Hamzah. ANTARA

Edwin Partogi Pasaribu
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Indonesia masih menghadapi ancaman serangan teroris. Serangan teroris sering kali mengambil korban masyarakat. Lantas apa hak-hak korban terorisme dan sejauh mana tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan hak korban tersebut?

Pembahasan ini merujuk pada laporan pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pemberantasan terorisme dan hak asasi manusia, Ben Emerson, di Jenewa, 22 Juni 2012 (Supriyadi, 2016). Emerson menggarisbawahi prinsip tanggung jawab negara merupakan inti dari pemberian hak reparasi. Komisi Hak Asasi Manusia PBB telah menyusun prinsip dasar dan pedoman atas hak remedial dan reparasi terhadap korban pelanggaran HAM berat. Prinsip itu menyatakan ganti rugi secara efektif harus mencakup kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan jaminan non-repetisi.

Emerson menekankan bahwa negara harus menerima kewajiban khusus melakukan reparasi bagi korban terorisme karena terorisme melibatkan penggunaan atau ancaman kekuatan yang bertujuan mempengaruhi suatu negara atau sekelompok negara, atau sebuah organisasi internasional.

Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) menempatkan korban terorisme sebagai orang yang mengorbankan diri secara sukarela atas nama negara. Dalam tipologi korban, mereka diistilahkan sebagai the completely innocent victim, korban yang sama sekali tidak bersalah dan tidak menyadari mengapa mereka menjadi korban.

Advertising
Advertising

Hal ini terjadi karena hampir selalu ada koneksi, baik langsung maupun tidak langsung, antara tindakan terorisme dan kebijakan negara. Hal ini yang membedakan pembunuhan yang dilakukan teroris dengan pembunuhan yang dilakukan orang perorangan. Hal yang paling mendasar adalah pelaku terorisme tidak mungkin pernah berada dalam posisi untuk memberikan kompensasi kepada korban. Karena itu, reparasi atau kompensasi bagi korban terorisme sebaiknya tidak digantungkan kepada pelaku teror.

Banyak negara saat ini secara sukarela telah menerima kewajiban hukum internasional untuk menetapkan skema khusus bagi pengadaan dana kompensasi kepada para korban terorisme. Emerson merekomendasikan semua negara sebaiknya menerima kewajiban untuk membentuk skema bantuan bagi korban terorisme.

Banyak negara telah mengatur pemenuhan hak-hak korban terorisme, termasuk Indonesia. Hak-hak korban ini tidak hanya diberikan kepada warga negara, tapi juga warga negara asing yang menjadi korban.

Beberapa negara bahkan menerapkan yurisdiksi (locus) internasional dalam penanganan korban terorisme. Artinya, walaupun seseorang menjadi korban di luar negeri, negara asal korban tetap bertanggung jawab dalam pemenuhan hak-hak korban, seperti pemberian kompensasi. Amerika Serikat, Prancis, Spanyol, dan Australia termasuk negara yang menerapkan kebijakan ini.

Australia menunjukkan praktik yang sangat maju dalam penanganan korban. Dalam peristiwa bom Bali, pengeboman di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, dan pengeboman di Hotel JW Marriot, pemerintah dan NGO Australia tidak hanya memperhatikan nasib warga negaranya yang menjadi korban, tapi juga memberi bantuan kepada warga negara Indonesia yang menjadi korban.

Bagaimana dengan Indonesia? Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme juga mengenal yurisdiksi internasional. Dalam Pasal 4 dinyatakan undang-undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri, fasilitas termasuk kediaman diplomatik Indonesia, di atas kapal atau pesawat berbendera Indonesia, dan lain-lain.

Kini, undang-undang itu telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme. Undang-undang baru ini jauh lebih baik dalam upaya memberikan pemenuhan hak-hak korban terorisme, yang meliputi bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, restitusi, dan kompensasi.

Perlindungan saksi dan korban terorisme telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun perkara kompensasi terhadap korban terorisme tetap mengacu pada Undang-Undang Terorisme.

Dalam kasus terorisme di Selandia Baru, misalnya, pemerintah dapat mengambil beberapa tindakan. Melalui Kedutaan Besar RI di Selandia Baru, pemerintah dapat membentuk unit atensi korban untuk membantu para korban dan keluarganya mengetahui hak-haknya, termasuk mendapat bantuan medis, psikologis, dan psikososial. Unit ini juga membantu korban menghitung kerugian materiel dan imaterial yang dapat diajukan dalam permohonan kompensasi. Dalam proses peradilan atas tindak pidana terorisme, unit ini dapat membantu korban mendapat informasi tentang kemajuan penyidikan.

Hal lain yang patut dipertimbangkan adalah pemberian kompensasi kepada korban. Ini merupakan tanggung jawab negara yang menyadari kejahatan terorisme adalah kejahatan lintas negara. Pemberian kompensasi dapat didasari surat keterangan dari penyidik atau kepolisian negara tempat peristiwa terjadi beserta kerugian yang dialami korban atau keluarganya, atau putusan pengadilan. Surat itu dapat menjadi dasar bagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk membayarkan kompensasi berdasarkan skema yang disetujui oleh Menteri Keuangan.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

5 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

34 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.

Baca Selengkapnya