Oceania

Senin, 29 April 2019 15:15 WIB

Kita belum hidup di Oceania. Mungkin hampir.

Di negeri fiktif itu, yang digambarkan Orwell dalam novel 1984, kalimat-kalimat ini datang berulang-ulang:

PERANG ADALAH DAMAI
KEMERDEKAAN ADALAH PERBUDAKAN
KETIDAKTAHUAN ADALAH KEKUATAN

Semboyan itu mengejutkan, membingungkan, tapi mendesak. Kebenaran yang umumnya diakui bahwa "perang" bertentangan dengan "damai", bahwa "perbudakan" adalah lawan "kemerdekaan" ditampik. Konsensus, tentang apa yang benar apa yang salah, ditiadakan.

Di Oceania yang dipaparkan Orwell, manusia hidup dalam "pasca-kebenaran", atau lebih tepat dalam "pura-pura kebenaran". Kekuasaan negeri itu dengan sistematis menampik proses penalaran. Partai yang berkuasa menentukan: "Apa saja yang dianggap benar oleh Partai, itulah kebenaran." Kekuasaannya praktis tanpa batas dan membuat orang menerima bahwa "perang adalah damai", "hitam adalah putih", "2 x 2 = 5". Tanpa verifikasi.

Advertising
Advertising

Partai memang tak menghendaki pernyataannya diuji. Tak ada niat mencocokkan pendapat yang dikemukakan dengan kenyataan. Sebab, bagi Partai, tak ada kenyataan di luar sana; realitas, atau kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia khususnya pikiran kolektif yang dikuasai Partai.

Tak ada "kebenaran obyektif"....

Kini kita tak hidup di Oceania. Kita tak punya Partai yang mahakuasa. Tapi ada hal lain dengan dampak yang mirip. Sebagaimana di negeri fiktif novel 1984, kini, "kebenaran obyektif" sedang dicampakkan. Kabar palsu dan dusta bertebar tiap saat. Tanpa rasa bersalah, tanpa peduli apakah bisa dibuktikan.

Donald Trump pernah menyatakan, tanpa berkedip, Obama bukan kelahiran Amerika dan seharusnya tak boleh jadi presiden. Di Indonesia, musuh-musuh politik Jokowi menyebarkan cerita palsu bahwa ia seorang Kristen.

Hoax macam ini melekat. Menangkis fakta yang keliru dengan fakta yang akurat selalu alot dan terlambat. Seperti kata Mark Twain, "Sebuah dusta berjalan mengelilingi separuh bumi ketika kebenaran baru mengenakan sepatunya." Bertahun-tahun, bantahan yang disertai fakta-fakta bahwa Obama tak lahir di negeri asing dan Jokowi bukan Kristen ibarat perisai yang hanya menangkis tapi tak bisa melumpuhkan serangan.

Apalagi jika kepalsuan itu begitu dahsyat, begitu tak masuk akal (misalnya bahwa Prabowo adalah presiden terpilih 2019), hingga orang jadi oleng dan mulai bertanya kepada diri sendiri: mungkinkah ada pihak yang tega berdusta sejauh itu dan meyakini kabar palsu sebesar itu?

Bantahan dan kontra-bantahan bisa berlarut-larut, hingga masyarakat pasrah: kami tak tahu persis mana yang benar dan mana yang tidak; mungkin "kebenaran" mustahil; mungkin tak penting.

Politik, dalam arti ikhtiar membentuk dan mengefektifkan kekuasaan, sejak dulu membuka peluang untuk itu. Dalam perang Bharatayudha, orang-orang Pandawa menyebarkan kabar bohong bahwa Aswatama gugur, hingga ayahnya, Dorna, putus asa dan gampang dikalahkan. Dari sejarah abad ke-20, Orwell menyimpulkan dengan gemas: politik adalah "sehimpunan dusta, tipu daya, kebodohan, dan skizofrenia". Dan yang paling menakutkan, tulis Orwell di kesempatan lain, adalah ketika politik jadi kekuatan yang "menyerang konsep kebenaran obyektif".

Konsep "kebenaran obyektif" sendiri memang problematis; para pemikir sudah lama menggugat itu. Tapi yang dicemaskan Orwell adalah seperti yang terjadi beberapa tahun sebelum ia meninggal di awal 1950: di Jerman, Hitler dan gerakan Nazinya menegaskan "ilmu Jerman" berbeda dengan "ilmu Yahudi", "kebenaran Jerman" berbeda dengan "kebenaran Yahudi". Orang tak mengakui lagi kebenaran yang universal, hingga pembasmian jutaan manusia bisa dibenarkan oleh satu pihak ketika dikutuk pihak lain.

Harus diakui, "kebenaran yang universal", sebagaimana "kebenaran obyektif", memang punya masalah. Meskipun di| mana-mana orang mengakui "2 x 2 = 4", dalam banyak perkara lain yang berlaku adalah "perspektivisme": kebenaran selamanya ditangkap dan diungkapkan dari perspektif tertentu. Tiap "kebenaran" yang aku utarakan berkaitan dengan posisi tubuhku, suasana tempat, dan waktuku.

Dengan kata lain: kebenaranku tak mutlak, hingga semua orang tak niscaya, tak harus, mengikutinya.

Pandangan seperti ini lazim dalam pemikiran post modern sebuah kerendahan hati. Tapi sejauh manakah kita bisa menoleransi perspektif Oceania bahwa "perang adalah damai" dan "kemerdekaan adalah perbudakan"? Benarkah kebenaran universal bisa ditunda, bahkan diabaikan?

Semoga tidak. Alain Badiou masih dengan gigih mengingatkan ini: kebenaran lahir dalam sejarah, tak lepas dari tempat, waktu, dan prosesnya, tapi ada yang kekal dalam dirinya dan tak terhingga rumusannya. Di zaman dan negeri yang berbeda-beda, ada événement: manusia bisa menegaskan bahwa perbudakan bukanlah kemerdekaan, dan menegaskannya dengan tindakan dan keyakinan yang tiap kali terasa sebagai gebrakan baru.

Ya, kita kini memang sesak dan cemas dengan "pasca-kebenaran", kita takut berhijrah ke Oceania. Tapi sejarah belum selesai.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

10 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

39 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.

Baca Selengkapnya

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.

Baca Selengkapnya